Minggu, 21 November 2010

in Jayawijaya, 8 Civilian Police Torture

SWEET --- Baroy Sambom, Jayawijaya residents said eight civilians were arrested and tortured by the police was about to visit one of their relatives who died in village Yalengga, Jayawijaya District, Papua, however, when the police ambushed the middle of their journey and then checked later arrested in Jayawijaya Police.

According to him, the arrest and hostage-taking by members of the Police Jayawijaya of eight civilians occurred at about 09:00 EDT on Saturday (20/11) yesterday. "Eight people were arrested in desaYalengga this yesterday but here suksa finally access this information is inaccessible to the media," said Sambom to JUBI, in Jayapura, Sunday (21/11).

According to data obtained from the National Committee of West Papua (KNPB) in Jayapura, the eight residents was about to visit their relatives who fell ill from the torture done by the police several months ago to the village died at the Pyramid. Thus, his eighth of the village Yalengga leading to the pyramid in order to mourn. But when they travel amid intercepted and arrested.

Condition while the eight residents was critical due to a result of police torture since the arrest. One of them female. They are Meki Tabuni, Nes Wenda, Oskar Kolago, Pius Wandikbo, Kalialoma Inggibal, Emina Wenda, Andius Virginia and Daniel Tabuni.

A spokesman for the National Committee of West Papua (KNPB) Mako Tabuni justify torture by police against citizens of the third. "They have arrested the morning, since arrested, police tortured from morning till night," said Tabuni.

Meanwhile, the police chief Jayawijaya AKBP Igede Sumerta Jaya, justifying the arrest, but those arrested and detained eight people, but not nine. They come from the "Revolutionary Army of West Papua."

She said the arrests were made since the middle of the journey nine citizens Star flag flying in the vicinity of Kampung Yalengga. Thus the security forces (police) seized the flag and securing them.

He denied that any torture against them. "There is no torture from the police, because they were arrested and detained at the Police's fine Jayawijaya," he said. Sumerta added, while the eighth person is still detained and will undergo further processing. (Moses Abubar)

Di Jayawijaya, WEST PAPUA 8 Warga Sipil Disiksa Polisi

JUBI --- Baroy Sambom, warga Jayawijaya mengatakan, delapan warga sipil yang ditangkap dan disiksa polisi tersebut hendak mengunjungi salah satu kerabat mereka yang meninggal dunia di Kampung Yalengga, Kabupaten Jayawijaya, Papua, namun, ketika ditengah perjalanan mereka disergap Polisi lalu diperiksa kemudian ditahan di Polres Jayawijaya.

Menurutnya, penangkapan dan penyanderaan oleh anggota Polres Jayawijaya terhadap delapan orang warga sipil tersebut terjadi sekitar pukul 09.00 WIT pada Sabtu (20/11) kemarin. “Delapan orang ini ditangkap di Kampung Yalengga kemarin tapi disini suksa akses akhirnya informasi ini tidak bisa diakses ke media,” ujar Sambom kepada JUBI, di Jayapura, Minggu (21/11).

Menurut data yang diperoleh dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura, delapan warga tersebut hendak mengunjungi kerabat mereka yang jatuh sakit akibat penyiksaan yang di lakukan oleh polisi beberapa bulan lalu hingga meninggal dunia di kampung Piramid. Dengan demikian kedelapan rekannya dari kampung Yalengga menuju ke piramid dalam rangka melayat. Namun ketika ditengah perjalanan mereka dicegat dan ditangkap.

Kondisi delapan warga tersebut sementara kritis akibat akibat disiksa Polisi sejak ditangkap. Satu diantaranya wanita. Mereka adalah Meki Tabuni, Nes Wenda, Oskar Kolago, Pius Wandikbo, Kalialoma Inggibal, Emina Wenda, Andius Ginia dan Dani Tabuni.

Juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni membenarkan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap ketiga warga itu. “Mereka kan ditangkap dari pagi, sejak ditangkap, disiksa polisi dari pagi sampai malam,” ujar Tabuni.

Sementara itu, Kapolres Jayawijaya AKBP Igede Sumerta Jaya, membenarkan penangkapan tersebut, namun mereka yang ditangkap dan ditahan bukan delapan orang namun sembilan orang. Mereka berasal dari “Tentara Revolusi Papua Barat”.

Lanjut dia, penangkapan dilakukan karena ditengah perjalanan sembilan warga tersebut mengibarkan bendera bintang kejora di sekitar Kampung Yalengga. Dengan demikian aparat kemanan (polisi) menyita bendera dan mengamankan mereka.

Dia membantah kalau ada penyiksaan terhadap mereka. “Tidak ada penyiksaan dari polisi, sebab mereka ditangkap lalu ditahan baik-baik di Polresta Jayawijaya,” ujarnya. Sumerta menambahkan, kedelapan orang tersebut sementara masih ditahan dan akan menjalani proses selanjutnya. (Musa Abubar)

Sabtu, 20 November 2010

Status Politik Papua di PBB Diperingati

Status Politik Papua di PBB Diperingati

JAYAPURA—Tanggal 19 November 1969 dikenal sebagai tahun dimana sejarah Tanah Papua di perdebatkan di PBB dan Internasional. Untuk Papua tanggal 19 November 2010 dianggap ‘keramat’ oleh sejumlah elemen elemen perjuangan Papua Merdeka yang sejak Jumat pagi, (19/11) bersama kelompok Petapa atau penjaga Tanah Papua kembali mengenang saat dimana sejarah Papua diangkat dalam kongres Amerika.
Adanya lampu hijau tentang agenda Papua yang dibicarakan dalam kongres Amerika, meski tak jelas apakah kongres Amerika secara terang- terangan mendukung kedaulatan Papua sebagai suatu nega­ra atau tidak, tidak diterangkan secara jelas.
Koordinator Umum aksi demo damai sosialisasi Congress Of the United State House Of Representatives Washington DC 20313 Wilson Waimbo Uruwaya menyatakan rencana mereka itu di kantor MRP kemarin, dia bersama semua elemen perjuangan Papua yang ada di Jayapura akan melakukan demo ke DPRP dengan satu tujuan mendukung semua alternatif/ solusi terbaik penyelesaian damai masalah status Politik Papua Barat tahun 1969 yang diperebatkan dalam sidang Umum PBB 1969 dan dinyatakan sebagai” Satatus Politik Papua yang Mengambang di PBB dan Internasional.
Menurut keterangan Wilson Uruwaya, semua elemen perjuangan rakyat Papua telah bersatu untuk mensosialisasikan hasil kongres Amerika yang baru berakhir 22 September 2010 telah diadakan acara dengar pendapat di kongres tentang kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Sub Komite Asia Pasifik dan lingkungan global untuk mencarikan solusi dalam mengatasi masalah serta situasi sulit yang dihadapi Bangsa Papua Barat hari hari terakhir ini.
Dalam kutipan laporan kongres Amerika yang tertulis, saat ini untuk pertama kalinya dalam kongres, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua Barat menjadi sorotan utama yang menyebabkan Bangsa Papua mendekati titik hasil dalam sejarah.
Dengan adanya Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi begitu lama dan panjang di Papua Barat, perlu mendapatkan perhatian dan pengakuan pihak Internasional dan penghargaan terhadap hak hak orang Papua Barat.

Surat khusus kongres Amerika yang ditanda tangani Sheila Jackson Lee dari Congreess Women yang ditujukan kepada Profesor Kurtz dari Universitas George Mason bersama Herman Wanggai yang telah memasukkan Sheila Jackson Lee dalam kongres Amerika. Konon Sheila Jackson Lee adalah seorang perempuan Politisi dari Partai Demokrat Amerika yang memasukkan Barak Obama dalam barisan Partai Demokrat Amerika dan berhasil meloloskannya dalam pencalonan Presiden Amerika.
Isu- isu tersebut diagendakan dan harus diusahakan jalan keluarnya, karena telah mengabaikan Papua Barat. “ Ini adalah harapan saya yang tulus bahwa harus ada upaya hentikan tindakan Militer Indonesia dan Pemerintah yang tidak adil, keadaan ini harus direformasi terhadap pelanggaran pelanggaran itu”. Secara khusus kami mau harus ada peningkatan kesadaran untuk nasib orang Papua Barat dalam hubungannya dengan kelambanan aktor Internasional, maka situasi disana akan kian memburuk sebab bagaimanapun, sejarah Papua Barat berhubungan dengan Amerika Serikat.
Mengutip peryataan Sheila Jackson Lee dalam kongres tersebut, yang terungkap bahwa sesudah konferensi tersebut, pihaknya masih akan bertemu lagi dalam waktu dekat untuk bekerja sama dengan pihak keamanan Internasional agar mengamankan Papua Barat. (Ven )
Comments
Add New Search

Rabu, 17 November 2010

LSM Australia Meminta Pemerintah Australia Stop Bantuan Militer dan Keamanan ke Indonesia Terkait Pelanggaran HAM

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Sydney, Asosiasi Australia Papua Barat (Australian West Papua Association/AWPA), melayangkan surat resmi kepada Perdana Menteri baru Australia, Julia Gillard, Rabu 15 September 2010. Melalui surat itu mereka meminta agar Gillard menghentikan semua pendanaan kepada satuan elit polisi dan militer Indonesia, yaitu Detasemen Khusus 88 dan Kopassus. Permohonan keberatan LSM ini banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak di Australia.

“AWPA mendesak agar Anda (Julia Gillard) menghentikan pelatihan, pendanaan dan hubungan antara militer Australia dengan Densus 88 dan Kopassus, sampai penyidikan penuh dilakukan atas pelanggaran HAM yang dilakukan unit ini,” ujar Sekretaris AWPA, Joe Collin, pada surat tersebut - yang dimuat di laman media independen Selandia Baru, Scoop. Selama ini Pemerintah Australia diketahui mengeluarkan anggaran US$16 juta setiap tahun untuk mendukung Densus 88.

Salah satu bukti yang digunakan oleh LSM Australia ini adalah video yang ditutuhkan kepada pihak keamanan Indonesia dan juga TNI. Sebuah video berdurasi 4 menit 47 detik yang merekam penganiayaan yang diduga dilakukan oleh oknum TNI atas sejumlah warga Papua, yang dituduh terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Video ini beredar, ditonton dan di-download melalui Youtube sejak Sabtu, 16 Oktober 2010 lalu. Beredarnya ''Video Penyiksaan TNI di Papua'' ini tentunya mencoreng nama baik TNI. Video yang kental berbau propaganda untuk menjatuhkan TNI dan juga pemerintah Indonesia dalam penanganan masalah separatisme di Papua tersebut, diklaim terjadi pada bulan Oktober 2010 di kawasan Tingginambut, Puncak Jaya, Papua.

Video ini sudah dimuat di sejumlah media di Australia sebagai isu internasional. Terkait HAM, begitu mereka mengarahkan. Sejauh ini Mabes TNI belum memberikan pernyataan pers terkait video kekerasan di Papua ini. Tentunya, kita (masyarakat) jangan langsung mengambil kesimpulan dengan cepat, karena ini merupakan soal yang sensitif. Benar atau tidaknya TNI melanggar HAM di Papua atau video ini hanyalah rekayasa, semua kesimpulan mesti ditahan menunggu hasil penyelidikan terhadap video ini.

Selain atas video juga dugaan mereka atas kasus penyiksaan aktivis asal Maluku yang diduga dilakukan oleh anggota Densus 88. Mereka mengatakan bahwa Densus 88 yang juga beroperasi di Papua Barat telah melakukan pelanggaran HAM serupa. Mereka mengungkap kembali kasus kematian kepala organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai bukti pelanggaran HAM oleh Densus 88.

“Pada bulan Desember 2009, pemimpin OPM Kelly Kwalik yang merupakan simbol penting rakyat Papua Barat dibunuh oleh anggota keamanan Indonesia termasuk diantaranya anggota Densus 88,” ujar Collin.

Pelanggaran HAM ini, menurut Collin, telah didokumentasikan pada berbagai laporan di angkatan bersenjata Indonesia. AWPA khawatir jika pendanaan yang digelontorkan kepada pemerintah Densus 88 akan digunakan untuk melawan rakyat Papua yang sedang mengusahakan hak mereka untuk merdeka.

“Pemerintah Australia merasa bahwa dengan menjalin hubungan dengan militer Indonesia, profesionalisme militer Australia juga akan menular kepada militer Indonesia. Namun, harapan ini terlalu jauh dan gagal total, ditunjukkan oleh tindakan militer Indonesia pada referendum di Timor Leste, dan tetap gagal sampai sekarang,” ujar Collin.

Selama ini memang LSM dan media massa Australia sering memberikan hal-hal negatif terkait Indonesia, terutama masalah HAM. Berbagai sorotan media massa Australia sering bersifat propaganda, sayangnya Pemerintah Indonesia kurang tegas dan kurang sensitif terkait isu ini.

Sumber bahan:

1. Media independen Selandia Baru, Scoop.

2. ANTARA

3. dunia.vivanews.com/news/read/177817-pm-australia-diminta-stop-dukung-densus-88

Sabtu, 13 November 2010

Polda Papua Diminta Tidak Membungkam Aspirasi Rakyat


JUBI - Front Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) meminta Kepolisian Daerah (Polda) Papua, untuk tidak membungkam aspirasi dan kehidupan demokrasi di tanah Papua.

Hal ini menyikapi tidak diterbitkan STTP oleh Polda Papua kepapa massa SONABPO yang hendak melakukan aksi demo damai di kantor DPRP pada tanggal 8 November lalu, terkait kedatangan Obama, serta penangkapan terhadap kordinator aksi untuk membubarkan jalannya aksi.

“Mengapa hal tersebut terjadi, padahal tujuan demo adalah demo damai dan agenda telah dijelaskan kepada pihak Polda Papua dalam surat pemberitahuan,” ujar Selpius Bobii.disampaikan ketua Front Pepera, Selpius Bobii, kepada wartawan di Asrama Tunas Harapan Abepura Rabu (10/11).

Terkait permasalahan tersebut Front Pepera meminta kepada pihak Kepolisian kedepannya agar tidak mengulangi hal serupa.

“Yakni tidak membungkam aspirasi rakyat Papua dengan cara membatasi masyarakat Papua melakukan aksi demo damai,” tandasnya.

Surat pemberitahuan sudah dilayangkan 3 hari sebelum aksi, kata dia, sesuai dengan prosedur yang berlaku, namun disayangkan ketika massa melakukan demo pihak Kepolisian tidak menerbitkan STTP malahan melakukan penangkapan kordinator aksi demo untuk membubarkan massa.

“Hal ini sudah tidak sejalan dengan undang-undang menyampaikan pendapat dimuka umum dan ini melambangkan demokrasi telah mati dan kebenaran di batasi,” tuturnya.

Diriya menilai jika tindakan kepolisian tersebut membuat rakyat Papua sudah tidak lagi percaya kepada negara ini, jadi jangan salahkan rakyat yang merong-rong keutuhan NKRI di Papua.

“Jadi jangan salahkan jika aparat bertindak demikian, justru akan mengganggu keutuhan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," pesannya.

Sementara dari Informasi yang diterima dari Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Wachyono, menuturkan bahwa pihakya tidak bermaksud membungkam demokrasi di tanah Papua, sebabnya hanya menunjukkan aturan yang tegas. "Yang pasti kalau tidak memiliki ijin dan tidak berjalan sesuai aturan pastilah di tindak tegas," tandasnya. (Redaksi)

Jumat, 12 November 2010

WELCOME TO : ARUMAN BLOG.COM: Motion untuk resolusi Parlemen Eropa tentang penyiksaan terhadap anggota masyarakat adat di Papua Barat

WELCOME TO : ARUMAN BLOG.COM: Motion untuk resolusi Parlemen Eropa tentang penyiksaan terhadap anggota masyarakat adat di Papua Barat

Motion untuk resolusi Parlemen Eropa tentang penyiksaan terhadap anggota masyarakat adat di Papua Barat

Motion untuk resolusi Parlemen Eropa tentang penyiksaan terhadap anggota masyarakat adat di Papua Barat
B7-0601/2010

Parlemen Eropa,

- Dengan memperhatikan Konvensi PBB tahun 1984 terhadap Penyiksaan dan Kekejaman Lain, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman,

- Dengan memperhatikan Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan 7b artikel dari Pakta Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan larangan mereka penyiksaan,

- Dengan memperhatikan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,

- Dengan memperhatikan Peraturan 120 dari Tata Tertib,

A. sedangkan di Papua Barat selama empat puluh tahun sekarang anggota masyarakat adat telah menderita dari pelecehan dan kekerasan di tangan tentara Indonesia,

B. bahwa oleh karena pendudukan Indonesia mulai ribuan orang telah tewas, dalam proses penindasan yang dalam keganasan dan luas, yang dianggap sebagai penyalahgunaan terburuk yang dilakukan hari ini melawan masyarakat suku di seluruh dunia,

C. sedangkan penganiayaan dari masyarakat adat Papua terkait dengan eksploitasi suatu wilayah kaya akan sumber daya pertambangan emas dan tembaga, sedangkan tindakan tentara Indonesia yang ditandai dengan ganas rasisme dan kebencian agama,

1. Mendesak Dewan untuk meminta pemerintah Indonesia untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dan sesuai dengan standar yang diakui secara universal hukum internasional.
SUMBER:WWW.EUROPEN PARLEMENT.COM

Rabu, 10 November 2010

JURNALIS AMERIKA UNGKAP LAPORAN OPERASI INTELEJEN KOPPASUS DI WEST PAPUA

Jayapura, seruu.com - Laporan operasi intelijen Korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Kotaraja, Jayapura, bocor. Dalam laporan tahun 2007 itu sejumlah tokoh Papua menjadi target untuk dimata-matai.
Laporan yang dimuat dalam blog jurnalis Amerika Serikat, Allan Nairn, itu menyebutkan operasi intelijen di Kotaraja mengindentifikasi aktivis gereja dan LSM sebagai “musuh”. Para aktivis gereja dan LSM dinilai memiliki potensi menyebarkan semangat antipemerintah Indonesia.

Dalam laporan “Satgas Ban-5/Papua Kopassus Pos I Kotaraja” tersebut Ketua Gereja Baptis Papua Pendeta Socrates Sofyan Yoman dan Ketua MRP Drs Agustinus Alue Alua menjadi salah seorang yang dimata-matai.

Laporan yang disusun akhir tahun 2007 tersebut memuat sejumlah data lengkap soal kondisi sosial dan politik di wilayah Kotaraja, bahkan jumlah dana operasi intelijen. Kotaraja dipilih sebagai daerah yang diawasi, karena di wilayah ini terdapat kantor Majelis Rakyat Papua dan dekat dari kantor beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Laporan harian yang diserahkan kepada Komandan Pos I Kotaraja Letnan Satu Inf Nur Wahyudi tersebut juga menyebutkan jumlah dan identitas petugas intelijen dari satuan militer lainnya.[vhr/ms]