Kamis, 28 Oktober 2010

Gillard Diminta Tekan Indonesia

SYDNEY, KOMPAS.com - Human Rights Watch (HRW), Jumat (29/10), mendesak Perdana Menteri Australia, Julia Gillard, menekan Indonesia agar melakukan penyidikan lengkap terkait penyiksaan oleh TNI terhadap warga Papua saat dia berkunjung ke Jakarta minggu depan.

"Gillard harus menuntut agar kasus-kasus baru-baru ini tentang penyiksaan oleh pasukan keamanan Indonesia diselidiki secara kredibel, tidak disapu ke bawah karpet," kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York itu.

Desakan itu muncul setelah sebuah video yang menunjukkan dua orang Papua ditendang dan disiksa muncul di internet. Gambar video itu memicu kemarahan internasional. Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian mengakui anggota terlibat dalam penyiksaan tersebut dan menyebut perilaku mereka "tidak profesional".

Agustus lalu, para petugas polisi dari Detasemen Khusus (Densus) 88 juga diduga telah menyiksa sekelompok aktivis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di Provinsi Maluku.

Canberra memberikan jutaan dollar Australia bagi pendanaan Densus 88, unit kontra-teroris yang lahir setelah peristiwa bom Bali 2002 yang menewaskan banyak warga Australia.

Gillard akan bertemu Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pekan depan dalam perjalanan regional pertamanya sejak menjadi perdana menteri.

Australia menyediakan bantuan kepada Indonesia, tetangga terdekat, untuk berbagai kebijakan kontra-terorisme melalui pelatihan pasukan militer Indonesia. Baru-baru ini, pasukan khusus Australia mengadakan latihan anti-teror dengan rekan-rekan Indonesia mereka di Bali.

Rakyat Papua Barat Tolak Tim Investigasi


AYAPURA—Rakyat Papua Barat yang terdiri dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beserta seluruh elemen masyarakat lainnya menolak dengan tegas opsi yang disampaikan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda untuk membentuk tim investigasi guna mengumpulkan fakta atau bukti terkait kekerasan dan penyiksaan yang dialami rakyat sipil di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
“Kami tegas menolak tim investigasi sepihak yang dibentuk oleh TNI/Polri, DPRP, pemerintah pusat maupun Komnas HAM. Tapi kami minta TNI/Polri maupun pemerintah membuka akses internasional bagi tim investigasi independen dari pihak pihak internasional untuk datang ke Puncak Jaya dan Jakarta jangan menutup akses ke Papua,” ujar Ketua Umum KNPB Buchtar Tabuni yang disampaikan melalui Juru Bicara KNPB Mako Tabuni di hadapan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda dan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai beserta anggota DPRP antara lain Yulius Miagoni SH, Nasson Uti, Achmad Saleh, Ignasius Mimin, John Banua Rouw, Ny Yani, Kenius Kogoya ketika berlangsung demo, Kamis (28/10) kemarin.
Selanjutnya dia mengatakan, Pertama, Kami segenap rakyat Papua Barat mengutuk keras pelaku penyiksaan rakyat sipil di Puncak Jaya. Kedua, Pangdam dan Panglima TNI bertanggung jawab atas penyiksaan warga sipil di Puncak Jaya. Ketiga, Kami menolak dengan tegas investigasi sepihak oleh TNI/Polri. Keempat, harus buka akses internasional bagi Tim Investigasi Independen. Keenam, tarik militer dan Puncak Jaya. Keenam, Hentikan pendekatan militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai.
Sebagaimana disaksikan Bintang Papua, ribuan massa dari KNPB dan elemen masyarakat lainnya Kamis (28/10) pukul 09.00 WIT berkumpul masing masing di Sentani, Mata Jalan Pos 7, Waena—Expo, Depan Kantor Pos Abe, Yapis, Depan Kampus STIE Yapis menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat bergerak dan bergabung bersama massa lainnya yang telah berkumpul di Taman Imbi.
Selanjutnya massa menuju Halaman Gedung DPRP, Jayapura dikawal aparat keamanan dari Polresta Jayapura serta Brimob Polda Papua.

Saat tiba di Halaman Gedung DPRP, Jayapura massa membentangkan sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan Kasus Puncak Jaya Murni Didalangi TNI/Polri, Stop Kekerasan di Papua Barat Segera Ambil Solusi Lewat Referendum, Rakyat Papua Secara Tegas Mendesak Pemerintah Indonesia Membuka Diri, Akses Tim Investigasi Internasional ke Papua, Tarik Pasukan Militer Non Organik di Puncak Jaya dan Papua Barat Secara Menyeluruh. PBB (UNTEA), Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia Bertanggungjawab Atas Genocide d Tanah Papua.
Aksi unjukrasa tersebut sempat ricuh gara- gara seorang pengunjukrasa serta merta memaksa Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai yang tengah memegang mike menyampaikan orasi politik. Melihat gelagat yang tak terpuji tersebut aparat keamanan menyerukan masuk ke tengah massa. Akhirnya massa pun berterik agar aparat segera meninggalkan kerumunan tersebut.
Buchtar Tabuni menyampaikan, sejak dulu sampai sekarang, pihak yang terus menyiksa, meneror, mencuri dan membunuh orang Papua adalah TNI/Polri. Bahkan Sejak wilayah Papua Barat dikuasai sepihak atas kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat, nilai kemanusiaan orang Papua dianggap dan diperlakukan seperti binatang.
Alhasil,lanjutnya, video penyiksaan di Puncak Jaya adalah contoh nyata prilaku TNI/Polri yang bertugas di Papua Barat. Masih banyak kasus kasus serupa yang menyedihkan di seluruh pelosok Papua Barat yang tak pernah terekam. Dan akhirnya kami orang Papua harus menyadari bahwa Republik Indonesia dan antek kapitalisnya Amerika Serikat sedang memusnakan kami orang Papua demi napsu kekuasaan dan kekayaan alam di Papua. “Kasus penyiksaan di Puncak Jaya baik yang terekam maupun yang belum terekam adalah murni perbuatan militer Indonesia,” kata Buchtar Tabuni yang kini tengah menjalani proses hukum di LP Abepura lantaran dituduh melakukan makar.
Dikatakan, dari dulu rakyat Papua Barat berjuang untuk sebuah kebenaran sejarah bahwa Pepera 1969 penuh dengan manipulasi. Itulah akar masalahnya. Kenapa Republik Indonesia terus menutupi akar masalah ini untuk menyiksa dan membunuh orang Papua Barat dengan stigma separatis dan teroris? Dengan tegas kami katakan bahwa menyiksa, menangkap dan membunuh tak akan pernah menyelesaikan persoalan di Papua, dan justru akan mencederai wajah Indonesia di Internasional. Cara cara yang berdamai dan paling demokrasi adalah referendum bukan menyiksa dan membunuh orang Papua.
Sejak operasi militer di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, tambahnya, ratusan orang terus disiksa dan dibunuh oleh TNI/Polri, rumah, kebun dan ternak mereka dibakar. Ribuan yang lain mengungsi di hutan dan mati kelaparan.PihakTNI/Polri terus menyangkal perbuatan mereka, padahal dalam rekaman video penyiksaan terlihat jelas TNI/Polri menyiksa dan memperlakukan rakyat sipil di Puncak Jaya seperti binatang. 15 Septeber 2010, Brimob kembali menembak mati 3 warga di Manokwari, tapi pelakunya nhanya dihukum 14 hari. 4 Oktober 2010, polisi tembak mati ismail Lokobal (Koordinator Petapa). Pelaku TNI/Polri tak pernah dihukum.
“Kami orang Papua terus diberlakukan seperti binatang diatas tanah air kami sendiri , dan cepat atau lambat kami akan punah. Oleh karena itu rakyat Papua harus melawan penindasan dengan menuntut Indonesia hentikan aksi militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai,” tukasnya. (mdc/don)

Penyiksaan Bikin Rakyat pAPUA Kecewa


Penyiksaan Bikin Rakyat Kecewa
Yunus Wonda: Jangan Ulangi Kasus G 30 S PKI di Papua

JAYAPURA—Aksi kekerasan yang dilakukan TNI/Polri khususnya di wilayah Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya seyogyanyalah tak menguntungkan semua pihak, namun sebaliknya hanya mengorbankan nyawa manusia. Untuk itu, Pangdam XVII/Cenderawasih didesak segera menarik semua personil TNI dan segera pula mengosongkan wilayah ini dari operasi militer.
“Saya ingin sampaikan kepada kita semua baik TNI/Polri maupun pemerintah bahwa kekerasan dan penyiksaan itu harus dihentikan, karena tak menguntungkan pribadi masyarakat yang ada disana. Tak menguntungkan kabupaten juga tak menguntungkan negara. Ketika kita menyampaikan hal ini kepada seluruh rakyat Papua khususnya yang ada di daerah Pegunungan Papua kita mendorong untuk benar benar mencintai dan merasa memiliki bangsa ini,” ujar Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda kepada Bintang Papua diruang Fraksi Demokrat DPRP, Rabu (27/10) kemarin.
Dikatakan, pihaknya sebagai anak daerah dari wilayah Pegunungan yang dipercayakan rakyat untuk duduk di DPRP ingin menyampaikan agar TNI/Polri segera menghentikan cara- cara kekerasan dan penyiksaan terhadap warga, tapi mulai melakukan perubahan dengan pendekatan- pendekatan kemanusiaan dan tindakan tindakan yang membangun. Kehadiran TNI/Polri disana rakyat juga merasa dilindungi dan rakyat juga bisa melindungi TNI/Polri.
“Kekerasan di Puncak Jaya tak membuat besok pagi Papua merdeka, tapi dibutuhkan pendekatan kemanusiaan dimana TNI/Polri dapat terlibat langsung membangun infrastruktur disana supaya rakyat merasa bahwa dia bagian dari negara ini dan merasa mencintai negara ini,” tukas
Untuk itu, katanya, pihaknya minta kepada Kapolda dan Pangdam untuk segera memanggil semua personil yang terlibat kekerasan dan penyiksaan terhadap warga khususnya di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya untuk mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang dilakukannya sesuai proses hukum yang berlaku dan rakyatpun dapat melihat proses tersebut benar benar sedang terjadi. Jangan hanya dimunculkan di media massa bahwa TNI/Polri akan melakukan proses hukum padahal setelah itu tak ada tanda tanda prosesnya berakhir dimana. “Kekerasan dan penyiksaan yang nyata nyata dilakukan TNI terhadap warga Papua adalah suatu tindakan yang tidak berprikemanusiaan dan telah menyalahi aturan dan suatu pelanggaran HAM berat. Jangan mengulangi lagi kasus G 30 S PKI di Papua,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Disatu sisi, tambahnya, tindakan- tindakan yang dilakukan TNI/Polri sebenarnya membuat rakyat kecewa. Pasalnya, peristiwa peristiwa kekerasan terus terjadi sejak tahun 1960-an hingga peristiwa tahun 1977. Hal ini menyimpan traumatis bagi masyarakat pegunungan hingga kini.
Karena itu, lanjutnya, pihaknya mengharapkan kepada pihak keamanan dalam hal ini TNI/Polri bahwa setiap anggota atau personil yang dikirim ke daerah daerah pedalaman Pegunungan atau di daerah Papua lainnya perlu diberikan suatu kursus agar mereka mampu melakukan pendekatan pendekatan yang harus mereka bangun kepada masyarakat setempat.
“Hal ini dimaksud agar rakyat tak merasa trauma. Tak merasa takut dengan kondisi kondisi yang ada tapi bagaimana TNI/Polri diberi pemahaman dan pembelajaran bagaimana mereka mengerti tentang pelanggaran HAM serta pendekatan pendekatan kemanusiaan agar rakyat tak merasa takut,” katanya.
Kehadiran TNI/Polri, sambungnya, bukan menjadi ancaman bagi masyarakat lokal tapi masyarakat merasa dilindungi karena fungsi TNI/Polroi adalah mengayomi dan memberikan perlindungan bagi masyarakat diseluruh Papua dan bukan sebaliknya melakukan tindakan tindakan yang melanggar prikemanusiaan.
Pertiwa penyiksaan terhadap warga Papua belum terungkap. Kini muncul lagi peristiwa yang menghebohkan. Sesuai data dari Komnas HAM Perwakilan Papua, peristiwa pembakaran dan penghancuran rumah warga 11 Oktober 2010 pukul 11.00—12.00 WIT lalu 18 orang aparat Polisi/Brimob Kelapa Dua dari Jakarta yang baru ditugaskan di Mulia, Puncak Jaya kembali membakar hingga rata dengan tanah 29 rumah dan 1 pastor gereja beserta seluruh isi rumah/honay yang ada di Kampung Brigi, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya.
“TNI/Polri harus mengubah program program keamanan di daerah daerah seperti ABRI Masuk Desa (AMD) sehingga masyarakat yang ada di daerah daerah Pegunungan ini merasa terlindungi dari pihak keamanan. Kalau keamanan itu melakukan hal seperti itu rakyat mau mengadu kepada siapa lagi,” tuturnya. (mdc)

Selasa, 26 Oktober 2010

MAHASISWA AKPER PANIA DI BUNUH OLEH APARAT KABUPATEN PANIAI, NAMA MAHASISWA ABRAHAM R.ZONGGONAU

Rabu,27 Oktober 2010- pukul 7.00 WIT, Masyarakat Paniai menutupi Lapangan Bandara Soeharto Enarotali-Paniai Papua untuk mengadakan aksi. Dalam Aksi tersebut masyarakat menuntut Pembunuhan Abraham R. Songgenau yang terjadi pada 15 Oktober 2010 lalu. Abraham Songgenau adalah mahasiswa Akademi Keperawatan Paniai (AKPER Paniai).
Kronologis Pembunuhan:
Pada jam 19.000 WIT,ketika Abraham pulang dari Kampus AKPER, Dia dicegak dan dibunuh oleh Aparat 753 Kabupaten Paniai. Saat pembunuhan itu berlangsung, Jecson Ikomouw salah satu mahasiswa Universitas Pasundan Bandung berada di TKP dan menyaksikan kejadian tersebut.
Dari pihak keluarga korban dan gabungan Aksi Masyarakat Mee, Monii dan suku-suku lainnya menuntut:
1. Kembalikan Mayat Abraham R.Songgenau dari pihak TNI 753 Kabupaten Paniai
2. Siapa pelaku TNI 753 yang membunuh A.Songgenau?
3. Stop Pelanggaran HAM di Paniai
Tuntutan tersebut disampaikan kepada:
Pihak Aparat 753 dan DPRD kabupaten Paniai supaya masalah tersebut segera diselesaikan. Apabila belum ada jawaban, maka dari pihak keluarga akan melanjutkan aksi ini.

Sumber Berita Via Handphone: Peserta Aksi (Petrus Youw, mahasiswa IPB Bogor)
Editor : Moses You (Mahasiswa UKSW,Salatiga )

VIDEO PAPUA DI HARAPKAN MEMBAWAH PERUBAHAN

Video penyiksaan warga Papua yang sempat beredar di YouTube membuat heboh Indonesia dan dunia internasional. Sayangnya ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah terjadi selama bertahun-tahun.

Benny Wenda adalah seorang warga Papua. Tetapi sejak delapan tahun ini ia tinggal di pengasingan di Inggris. Tahun 2001 ia ditangkap militer dan diancam hukuman penjara selama 25 tahun dengan tuduhan mengibarkan bendera Papua Barat dan menyebabkan kerusuhan. Ketika ditahan ia berkali-kali menghadapi ancaman pembunuhan. Baginya, penyiksaan yang bisa dilihat di video tersebut bukanlah hal baru.

Pelanggaran HAM sudah terjdi sejak referendum

”Masyarakat setiap mereka mau lewat pergi ke kebun, pergi ke gunung, itu mereka selalu diperiksa, jika mereka bawa kapak atau alat-alat kebun, itu mereka langsung disiksa. Mereka punya rambut panjang atau kumis panjang itu langsung dipotong, disiksa. Apalagi kalau mereka tidak tahu bahasa Indonesia, mereka langsung dipukul”, cerita Benny Wenda.

Menurut Benny, pelanggaran HAM sudah terjadi sejak tahun 1963, setelah referendum dengan keputusan bahwa Papua menjadi bagian dari Indonesia dan militer masuk ke provinsi terluas di Indonesia ini. Di tahun 1977, Benny harus menyaksikan bagaimana orang tuanya disiksa militer. Ini tidak akan ia lupakan seumur hidup.

Foto penyiksaan menjadi pola tersendiri

Sophie Grig dari organisasi Survival International telah memonitor keadaan disana selama 15 tahun terakhir. Ia juga melihat, bahwa pelanggaran HAM di Papua selama sekitar 50 tahun ini mempunyai pola yang sama. Seorang pastur pernah bercerita kepada Sophie Grig, bahwa tentara berulang kali datang ke desanya dan memperkosa perempuan dan gadis-gadis muda disana. Aksi pemerkosaan ini difoto dan ditunjukkan kepada wrga desa "untuk terus mengintimidasi mereka dan juga untuk mempermalukan para perempuan ini", ujar Sophie Grig. "Jadi ini bukanlah sesuatu yang baru, memang rekaman video lebih dramatis daripada sebuah foto, tetapi hal seperti ini sudah sering terjadi dan dipakai oleh tentara dari dulu”, lanjutnya

Tingkat kekerasan meningkat

Walaupun begitu, menurut Benny, tingkat kekerasan di Papua Barat memang meningkat dalam beberapa bulan terakhir ini. Dilaporkan, 11 Oktober lalu terjadi pembakaran sejumlah rumah di wilayah Tingginambuk di kabupaten Puncak Jaya oleh brimob dan 650 orang kehilangan rumahnya.

Salah satu alasan di mata Benny adalah karena warga Papua beberapa bulan terakhir ini keluar untuk berdemo. "Mereka demo-demo secara damai, tetapi mungkin itu yang menyebabkan dunia semakin melihat apa yang terjadi di Papua dan karena itu Indonesia mengambil tindakan seperti itu. Agar rakyat Papua takut, supaya mereka diam", kata Benny.

Masyarakat internasional harus bertindak

Tertutupnya Papua bagi para wartawan dan masyarakat internasional merupakan salah satu alasan mengapa aksi kekerasan ini terus berlanjut. Tetapi dengan beredarnya video penyiksaan warga Papua ini, Sophie Grig berharap, keadaannya akan berubah.

“Saya sangat berharap bahwa video yang mengerikan ini dapat membuat orang-orang bangkit dan mendengarkan warga Papua, dan juga menyebabkan masyarakat internasional untuk mengambil tindakan", ujar Sophie. Dengan kunjungan Presiden Obama ke Indonesia November depan, Sophie berharap akan terjadi perubahan dan dunia internasional akhirnya akan menjadi lebih tegas dan mengatakan: "Ini tidak bisa berlanjut.”

Bagi Benny Wenda, solusi terbaik adalah diberikannya hak menentukan kepada warga Papua sendiri. Inilah yang ia kampanyekan di dunia internasional. Sebelum warga Papua mendapatkan haknya kembali, Benny tidak akan pulang dari pengasingannya. SUMBER

Anggatira Gollmer
Editor: Luky Setyarini

POLISI TANGKAP KETUA DEWAN ADAT KEEROM PAPUA

Jayapura, Polsekta Abepura, Kota Jayapura, Selasa (26/10/2010) secara tidak sengaja berhasil menangkap seorang anggota kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) bernama Agustinus Kres (45 tahun).

Awalnya Agustinus Kres dilaporkan seorang warga bernama Marthen Luther Faidiban, karena dituduh membawa lari anak perempuannya bernama Ema Faidiban (17 tahun). Namun dalam pemeriksaan di Kantor Polsekta Abepura, petugas kepolisian malah menemukan dua lembar dokumen OPM dari dalam tasnya. Satu lembar berupa blangko pemilihan ulang Penentuan Pendapat Rakyat Papua Barat bagi nasib sendiri Papua Barat Merdeka, dan satu lembar lagi berupa kuitansi bukti pembayaran kepada perjuangan OPM.

Dalam keterangannya kepada petugas kepolisian, Agustinus Kres yang juga Ketua Dewan Adat Papua Distrik Arso Timur Kabupaten Keerom mengaku, bahwa dokumen yang dibawanya akan diberikan kepada warga dalam rangka menggalang dana untuk aksi memperingati HUT OPM tanggal 1 Desember 2010.

Selanjutnya, Agustinus Kres akan dipindahkan ke Polresta Jayapura untuk penyelidikan lebih lanjut. (Ave)

Jumat, 22 Oktober 2010

Hip Hop Perlawanan demi Papua Merdeka


JAKARTA, KOMPAS.com — Perjuangan menuju Papua merdeka dari Indonesia tidak hanya digelar lewat senjata dan diplomasi, tetapi juga lagu.

Sebagaimana video kekerasan aparat terhadap rakyat Papua yang mencoreng reputasi Indonesia, lagu perjuangan dari Papua kali ini juga disebarkan melalui situs YouTube.

Lagu dalam video berdurasi 2,53 menit itu diberi keterangan sebagai "The Sound of Freedom from the next generation of West Papua.!!! Papua merdeka.!!!!"

Ilustrasi visualnya berupa foto seputar seremoni gerakan Papua merdeka, tetapi juga ada yang ironis. Lirik dalam lagu yang dikemas beraliran hip hop itu mengutuk bukan saja Indonesia, melainkan juga Belanda dan Amerika Serikat.

"(XXXX- diedit) Indonesia sama saja dengan Pemerintah Belanda. Torang dua mau diam-diam bunuh saya," demikian bunyinya. Torang adalah kependekan "kita orang" dalam dialek Papua.

Amerika Serikat dikutuk karena perannya dalam menjembatani sengketa antara Indonesia versus Belanda dalam memperebutkan Papua barat. "Amerika, Belanda, Indonesia. Kamu dulu jual torang, ya? 15 Augustus 62, ya? Di New York, heh?" demikian olok-olok di lagu itu.

Tanggal 15 Augustus 1962 merujuk pada perundingan di New York yang menyepakati penyerahan Papua Barat oleh Belanda kepada Indonesia, dengan beberapa persyaratan. Perundingan itu dikutuk separatis Papua karena tidak melibatkan wakil Papua sama sekali.

Tetapi ada ironi di ilustrasi video itu. Meski mengutuk Belanda, mereka juga merengek minta perhatian Kerajaan Belanda.

Pada video lagu itu ditampilkan poster bertuliskan, "Why are you SILENT about Indonesian GENOCIDE in WEST PAPUA?" Lantas, dilengkapi pula dengan foto jajaran kursi di gedung parlemen Belanda.

Selasa, 05 Oktober 2010

A.S. Prihatin atas Sikap Indonesia terhadap West Papua

Keprihatinan mendalam disampaikan Amerika Serikat tentang perlakuan atas orang West Papua dalam kekuasaan Indonesia.

Untuk pertama kalinya Kongress A.S. membuka sesi khusus mendengarkan isu-isu yang berpengaruh terhadap provinsi orang Melansia itu.

Para anggota perwakilan diberitahu tentang pelanggaran HAM yang sedang berlangsung dan tuduhan bahwa Indonesia gagal memberikan Otsus kepada West Papua yang telah ia janjikan 9 tahun lalu.

Yang memimpin penyampaikan ini ialah Anggota Kongress dari Samoa Amerika, Eni Faleomavaega, yang juga adalah Ketua Sub Komisi Parlemen Urusan Asia-Pasifik dan Lingkungan Global.

Presenter: Helene Hofman
Pembicara: Eni Faleomavaega, American Samoa’s Congressman

FALEOMAVAEGA: Setahu saya ini pertama kali Kongres A.S. menyelenggarakan sesi khusus untuk keseluruhan pertanyaan tentang West Papua, menyangkut segala hal, sejarahnya dan situasi sekarang, khususnya era penjajahan Belanda dan bagaimana diambil alih secara militer di bawah pemerintahan Sukarno dan Suharto.

HOFMAN: Jadi, A.S. punya dua keprihatinan utama, sebagaimana saya pahami, satunya mendesak untuk kemerdekaan dan lainnya pelanggaran HAM?

FALEOMAVAEGA: Tidak, isu kemerdekaan selalu menjadi bagian dari pemikiran sejumlah orang West Papua. Saya mengikuti isu ini sudah sepuluh tahun sekarang dan merasa bahwa mengigat tahun-tahun kami bekerjasama dengan Jakarta, khususnya saat Jakarta mengumumkan akan memberikan UU Otsus kepada orang West Papua sejak 2001 dan harapan bahwa orang West Papua akan diberikan otonomi yang lebih. Well, sembilan tahun kemudian, tidak ada kemajuan atau gerakan yang terjadi untuk memberikan otonomi yang lebih banyak itu kepada orang West Papua dan dalam hal ini kami sudah ikuti dalam beberapa tahun belakangan dan kami harap Jakarta cepat tanggap terhadap pertanyaan dan keprihatinan kami.

HOFMAN: Saya mengerti ada isu pelanggaran HAM juga. Saya tahu Anda juga sedang mengklasifikasikan apa yang terjadi di West Papua itu sebagai sebuah perbuatan “genosida” (ed-tindakan yang dimaksudkan untuk dan berakibat penghapusan etnik), yang mana tidak mendapatkan oposisi di Amerika Serikat?

FALEOMAVAEGA: Well, ini isu yang terus berlanjut. Sebelum Timor Leste diberikan kemerdekaan 200.000 orang disiksa dan dibantai. Militer Indonesia lakukan hal yang sama di West Papua, angka konservativ 1000.000 orang, yang dilakukan oleh militer Indonesia. Yang lain mengatakan 200.000 orang orang West Papua dibunuh dan disiksa, dibunuh tanpa belas kasihan oleh militer. Jadi, ya ada persoalan genosida di sana. Saya sangat, sangat prihatin bahwa isu ini terus berlanjut dan kami mau memastikan bahwa orang-orang di sana diperlakukan adil.

HOFMAN: Apa yang dapat dilakukan A.S. tentang ini? Sekarang ada penyampaian khusus tentang West Papua? Apa harapan Anda yang akan jadi sebagai hasil dari ini?

FALEOMAVAEGA: Well, sistem pemerintahan kami agar berbeda dari sistem parlementer dan dalam sistem kami cabang yang setara dengan pemerintahan dan kami bekerjasama. Kami semua tahu bahwa Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Baru-baru ini mulai muncul untuk menjadi demokratis dan kita semua mendukung itu. Tetapi pad waktu bersama ada legacy tentang apa yang ia telah lakukan kepada orang West Papua, pertama dalam kolonialisme Belanda, kini penjajah lain menjajah orang-orang ini yang tidak punya hubungan budaya, etnik, hubungan sejarah sama sekali dengan orang-orang Indonesia, atau bisa dikatakan orang-orang Jawa ini yang tinggal di tanah air Indonesia. Ini orang-orang Melanesia dan secara budaya ada keprihatinan yang sangat, amat bahwa orang-orang ini semakin lama semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan di dunia mereka sendiri, dan memang ada keprihatinan mendalam tentang apa yang Jakarta lakukan terhadap isu ini.

HOFMAN: Jadi apa pesisnya yang dapat dilakukan A.S.? Kenapa orang Indonesia harus dengarkan A.S.?

FALEOMAVAEGA: Indonesia tidak harus dengarkan A.S. Tetapi saya yakin negara-negara lain di dunia akan lihat, Hey, kami bisa katakan hal yang sama dengan apartheid, isu Afrika Selatan, apa yang terjadi dengan mereka. Kalau dunia tidak menekan Afrika Selatan untuk merubah apa yang dilakukannya, mereka tidak buat apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa terhadap kebijakan apartheid di sana, dan saya pikir cara yang sama kita berikan perhatian ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengikuti jalan-jalan yang telah dilalui orang Timor Leste.

HOFMAN: Jadi, apa langkah berikutnya setelah sesi ini?

FALEOMAVAEGA: Well, penyampaian terbuka ini bagian dari proses itu. Ini cara operasi sistem pemerintahan kami. Kami lakukan dengar pendapat, dan Pemilu November mendatang mungkin akan terjadi perubahan dan kami menjembatani saat kami melewati proses itu, dan bila saya terpilih kembali saya jani kepada Anda bahwa saya akan angkat isu itu terus, tidak hanya dengan Jakarta, tetapi juga di Kongres dan juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami perlu menaruh perhatian lebih kepada masalah-masalah yang dihadapi orang West Papua sekarang.

Seruan Kepada Masyarakat Adat Papua di Wilayah Mbadlima


Menanggapi kondisi HAM dan keamanan terakhir di West Papua, khususnya di Wilayah Mbadlima, maka disampaikan kepada seluruh Masyarakat Adat Melanesia khususnya di Pegunungan Tengah dan MADAT Papua pada umumnya bahwa:

1. Masyarakat Adat Melanesia West Papua perlu menyadari bahwa dengan kekejaman Polisi Indonesia pada saat ini, mengulangi kekerasan-kekerasan sebelumnya semakin lama semakin meyakinkan kepada dunia semesta, khususnya para anggota Kongres di Amerika Serikat dan Anggota Parlemen di Kerajaan Inggris bahwa janji demokratisasi di West Papua di dalam NKRI dalam proses otonomisasi untuk Provinsi Papua, mengatakan, “Papua lebih bagus dan lebih aman di dalam Indonesia,”, “Papua sedang dibandung lebih baik dengan penghargaan HAM yang lebih baik,” dan berbagai janji manis lainnya itu ternyata dan terbukti “TIDAK BENAR!”, dan ketidak-benaran itu sudah berulang-kali disampaikan oleh orang Papua, tetapi sekarang Polisi Indonesia sendiri mengumumkannya kepada dunia bahwa “Pemerintah Indonesia telah menipu dunia.”
2. Kleim Indonesia bahwa pelanggaran HAM hanya pernah terjadi di era Orde Baru dan saat ini pelanggaran HAM sudah tidak ada, terbukit TIDAK BENAR! Jadi, polisi dan politisi Indonesia sedang berbicara dalam dua bahasa yang berbeda, yang semakin membingungkan dunia, “Apakah Indonesia sanggup membangun West Papua, atau sebaiknya West Papua dikeluarkan dari Indonesia supaya membangun dirinya?”

Selanjutnya sikap yang perlu diambil MADAT Papua, khususnya di Mbadlima dan sekitarnya adalah;

1. Memandang dan menyerahkan nyawa orang Papua yang telah dibunuh dengan keji itu sebagai bagian dari para pahlawan yang telah gugur di medan dalam memperjuangkan hargadiri, martabat dan aspirasi bangsa Papua;
2. Memandang dan memperlakukan mereka yang ada di rumah sakit dan yang ditahan aparat NKRI sebagai para pejuang yang memperjuangkan hargadiri, martabat dan aspirasi bangsa dan tanah airnya;
3. Dengan demikian, TIDAK PERLU dan TIDAK ADA HUBUNGAN melakukan pembicaraan-pembicaraan, entah dalam bentuk dialogue, tukar-pikiran, dan sebagainya yang diselenggarakan oleh Polisi Indonesia dengan tujuan mendamaikan orang Papua dengan NKRI.Alasannya karena kedua bangsa yang berbeda, berada di pulau yang berbeda itu akan melakukan pembicaraan pada SAATnya, bukan pada saat ini. Ada waktu dan tempat yang akan disediakan untuk melakukan pembicaraan sebagai dua bangsa dan dua wilayah yang berbeda, sederajad dan bermartabat. Oleh karena itu, melakukan pembicaraan-pembicaraan saat ini dengan alasan apapun merupakan tanda bahwa bangsa Papua tunduk kepada NKRI.
4. KATAKAN kepada Polisi Indonesia bahwa para Kepala Suku Papua SANGGUP dan DAPAT dan oleh karena itu PASTI AKAN mengamankan MADAT Papua untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan anarkis yang mengganggu ketertiban umum TANPA, sekali lagi TANPA keterlibatan Polisi Indonesia, dan TANPA harus berdialogue dengan aparat NKRI.Biarkanlah para tokoh gereja atau pejabat pemerintah asal Papua melakukan pembicaraan-pembicaraan untuk kepentingan jabatan dan tugas negara mereka, tetapi Masyarakat Adat Papua tidak ada urusan dengan itu. Yang penting kami MADAT Papua mau hidup damai, dan hidup damai itu TIDAK KARENA DIAMANKAN Polisi Indonesia, tetapi karena adat dan norma adat kami mengharuskan kami untuk hidup demikian, baik di bawah pendudukan NKRI maupun terlebih setelah Papua Merdeka.
5. Kunci dari kekerasan Polisi Indonesia ini adalah mementahkan wacana dan argumen mereka di pentas politik dunia bahwa sekarang ini sudah tidak ada pelanggaran HAM lagi di Tanah Papua. Ternyata wacana mereka itu dibuktikan tidak benar oleh perbuatan mereka sendiri. Biarkan perbuatan mereka sendiri membantah perkataan mereka.

Demikian seruan ini disampaikan untuk diperhatikan dan dilaksanakan di lapangan, khususnya oleh Para Tokoh Adat dan Kepala Suku Perang MADAT Papua di Pegunungan Tengah West Papua.

Hormat kami,

Amunggut Tabi

MEDIA RELEASE PIMPINAN PAPUA Jeritan Rakyat Papua Akan Nasibnya yang menuju ke Punahan Tercacat resmi di DPR Amerika


Diiringi, pukulan tifa dan lagu E Mambo Simbo, rakyat Papua kembali mencatat sejarah baru dalam diplomasi diluar negeri. Kali ini beberapa pimpinan komponen perjuangan bangsa Papua berhasil mengugah hati wakil rakyat, pemerintah dan beberapa kantor penting lainnya di Amerika. Suara dari jeritan bangsa Papua itupun didengar secara resmi di berbagai kantor lainnya sesudah acara Hearing tentang Papua yang di pimpin Ketua Sub-Komisi Asia Pasifik dan Lingkungan Global, Rep. Eni F.H Faleomavaega. Rep. Eni, yang selama puluhan tahun sudah menyuarakan aspirasi rakyat Papua tersebut mengulangi kata-kata tokoh hitam dunia, Nelson Mandela: Enough is Enough dan jeritan rakyat Papua itupun tercatat secara resmi dalam Sidang DPR Amerika.
Petang itu, jam 3 sore, pada hari Selasa 22 September 2010, jeritan rakyat Papua akan nasib bangsanya didengar secara resmi di gedung DPR Amerika. Sebelum memimpin rapat yang bersejarah bagi rakyat Papua itu, Rep. Eni F.H. Faleomavaega, Ketua Sub Komisi Asia Pasifik dan Lingkungan Global memberikan kesempatan kepada utusan wakil rakyat Papua dari berbagai komponen perjuangan untuk mementaskan tari dan lagu. Kecuali Frans Albert Yoku dan Nick Messet yang diantar Kedutaan Besar Republik Indonesia, orang-orang Papua didalam ruangan itu berdiri secara spontan maju ke depan dan mengalunkan lagu E Simbo Mambo dipimpin Henk Rumbewas yang memukul Tifa yang ia sudah pakai keliling ke berbagai belahan bumi mengisahkan penderitaan bangsa Papua dalam tari dan lagu.
Ketua sub-Komisi Asia Pasifik, Rep. Eni menguraikan tragedy kemanusiaan yang melanda bangsa papua baik akan sejarah peralihan, sejarah penindasan yang dilakukan Bangsa Indonesia dalam era dictator Soeharto hingga dalam era reformasi saat ini. Rep. Eni yang sudah puluhan tahun memperjuangkan masalah Papua Barat entah dalam politik negara Amerika, maupun ke tingkat Internasional ikut mendukung pendapat yang menyebutkan bahwa Indonesia sedang melakukan sedang menghabiskan bangsa Papua atau slow motion genocide.
Untuk menggambarkan kekejaman itu, Wakil rakyat dari Samoa ini mengawali sidang ini dengan menceritakan pengalaman pribadi akan bagaimana Pemerintah Indonesia SB Yudhoyono terhadap dirinya. Rep. Eni menceritakan, “ketika itu, tahun 2007, saya memimpin Delegasi Kongres sesuai ijin pribadi Presiden SB Yudhoyono dan Wakilnya Yusuf Kallah yang memberikan jaminan 5 hari berkunjung ke Biak, Manokwari dan lebih penting lagi Jayapura. Beberapa saat menjelang pemberangkatan, saya dikabari bahwa hanya akan diberi ijin 3 hari kunjungan. Dan begitu saya tiba di Jakarta pada tanggal 25 November 2007, saya diberitahukan bahwa hanya diperkenankan berkunjung 1 hari saja. Dan dalam kenyataannya, saya hanya diperkenankan untuk berkunjung selama 2 jam di Biak dan 10 menit di Manokwari. Saya pun dicegat untuk bertemu dengan rakyat yang diblokade Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya, Rep Eni memperlihatkan video tape pengaturan di lapangan yang diatur sedemikian rupa untuk memperlihatkan betapa Papua begitu rawan. Tayangan itu sungguh memperlihatkan wajah arogansi pemerintah dan militer, dimana kalau seorang anggota Kongres yang memimpin delegasi resmi sebagai tamu negara diperlakukan demikian, apalagi rakyat papua demikian komentar beberapa orang warga Amerika yang duduk dalam ruangan hearing tersebut.

Dari Istana Merdeka, Menuju Gedung Capitol
Bila dilihat dari aspirasi yang masyarakat Papua sampaikan adalah sama yakni merdeka sebagai satu-satunya jalan guna menyelamatkan diri dari kepunahan. Dalam Istana Negara Republik Indonesia, pada tanggal 25 Februari 1999, Agus Alua yang kini adalah Ketua MRP sebagai salah satu juru bicara yang mewakili kaum intelektual memohon: …. Bapak Presiden Ijinkan kami pulang dengan bebas menata diri kami secara bebas sebelum punah dari tanah kami. Dalam hearing 22 September 2010 ini, tiga orang Papua yang menjadi jurubicara meneruskan keputusan rakyat Papua yang melihat referendum sebagai satu-satunya jalan dalam menyelamatkan diri dari proses kepunahan bangsa Papua dari tanahnya. Jadi baik di Jakarta maupun Papua, kemerdekaan bagi Papua adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari slow motion genocide yang sedang dilakukan bangsa Indonesia.
Apa yang terus disuarakan juru bicara bangsa Papua ini bukan saja sebuah pernyataan politik tetapi ia merupakan sebuah fakta yang diakui sejumlah pihak. Beberapa lembaga akademis, bukan saja mengakui akan fakta crime against humanity melainkan genocide. Berbagai lembaga Hak Asasi Manusia tingkat dunia yang memberikan perhatian di Indonesia dan khususnya di Papua sudah berkali-kali mengeluarkan laporan demi laporan akan kejahatan kemanusiaan yang sudah berlangsung sejak Papua dipaksa menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Dari sisi perbandingan populasi, dimana orang Papua yang jumlahnya kurang dari 1,5 juta jiwa ini sudah pasti akan habis ditengah lebih dari 250 juta penduduk. Maka tidaklah berlebihan bila Juan Mandez, pembantu khusus Sekertaris General PBB dalam urusan pencegahan Genocide beberapa tahun lalu memasukkan Papua Barat sebagai satu diantara beberapa bangsa didunia yang sedang menuju kepunahan.
Dari sisi jurubicara, ada yang pro Merdeka dan yang tidak. Di Jakarta, secretariat negara dan aparat keamanan merekayasa memasukkan puluhan orang Papua diluar 100 orang Wakil Rakyat Papua yang diundang resmi oleh Presiden BJ Habibie. Diantara mereka ini, paling tidak ada 3 orang yang diminta maju menyampaikan aspirasi minoritas yang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Washington, atas nama demokrasi Ketua Komisi Luar Negeri, Rep. Eni memang mengundang Nick Messet dan Frans Albert Yoku sebagai kelompok minoritas di Papua yang mempertahankan Papua sebagai integral dari Negara Republik Indonesia. Namun yang menarik adalah isi dari statement tertulis yang dibacakan Nick Messet memperlihatkan secara jelas bahwa naskah itu dipersiapkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Bukan saja bahasanya rumusan standar yang sudah sangat sering disebutkan pejabat Indonesia termasuk menyerang dan melecehkan Eni sebagai seorang politisi Amerika tidak bertanggungjawab yang membakar situasi Papua. Sementara itu, dari sisi orang papua paling tidak ada 3 orang Papua, Octovianus Mote, Henk Rumbewas dan Salmon Yumame yang menjuarakan aspirasi rakyat Papua. Selain itu ada tiga orang barat yang memberikan kesaksian sesuai keahlian mereka yakni Professor Piet Drooglever, penulis buku sejarah Peralihan Act of Free choice yang menguraikan secara detail proses manipulasi sejarah tersebut dalam buku yang amat tebal … halaman. Lalu Dr Eben Kirksey, ahli Papua yang banyak melakukan penelitian mengenai berbagai macam kekerasan di Papua dan Dr Sophia Richardson, dari Human Rights Watch. Sebelum 9 orang saksi tersebut, ditampilkan pula 2 orang Amerika yang dimintai keterangan mewakili suara Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan.

Konsekwensi dari dihadirkannya orang papua yang memiliki pandangan politik yang berbeda ini, sulit dihindarkan konflik antara sesama orang Papua. Bila di Istana Negara, Presiden dengan penuh emosi meminta kepada anak buahnya hentikan rekayasa itu guna memenuhi permintaan Ketua Tim 100, Tom Beanal maka di Amerika, Rep. Eni meminta agar tidak usah cuci kotoran di celana dalam saudara sendiri di depan umum. Selain itu kalau di Jakarta, para pembicara karbitan tersebut hanya bisa merekayasa pernyataan politik tanpa fakta maka Nick Messet di dalam acara dengar pendapat ini pun merakit keberhasilan otonomi padahal kenyataannya program itu diakui gagal sampai Presiden Republik Indonesia membentuk Tim Evaluasi. Dan yang paling memalukkan adalah pernyataan dua orang Papua yang dipakai Indonesia ini maupun pemerintah Republik Indonesia bahwa Rep. Eni mendukung Otonomi Khusus dan menolak merdeka. Ini bertentangan dengan realita pembicaraan sebagaimana bisa dibaca secara umum bahwa para utusan rakyat Papua itu tidak datang untuk minta diakui kemerdekaan melainkan memperjuangkan suatu kesempatan yang memungkinkan rakyat papua menentukkan massa depannya agar tidak punah dari negeri sendiri. Akan halnya otonomi khusus, Rep. Eni akui bahwa program ini gagal namun pertanyaan adalah apa jalan keluarnya sebagai ganti penolakkan otonomi khusus. Dalam hal ini ia menantang orang Papua untuk bersatu memilih pemimpinnya yang berani menyuarakan aspirasi rakyat.
Dino Patti Djalal, Dutabesar Indonesia untuk Amerika serikat menyepelehkan dengar pendapat ini karena menurutnya hanya dihadiri oleh 3 orang anggota kongres apalagi ia yakin betul bahwa hearing ini tidak akan mengubah kebijaksanaan Pemerintah Amerika. Rep. Eni Faleomavaenga, timpali dengan mengatakan bahwa sekalipun dimata Dino, Hearing ini tidak penting tapi yang ia tidak sadari adalah bahwa berbagai pertemuan penting yang dilakukan oleh delegasi Papua Barat dengan berbagai lembaga penting seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan Dewan Pertahanan Nasional serta sejumlah anggota kongres yang sangat berpengaruh yang tidak hadir hearing karena kesibukan mereka. Rep. Eni menambahkan lebih jauh akan surat dari 50 anggota Kongres Amerika yang peduli akan Indonesia yang gagal melaksanakan otonomi khusus dan karenanya memintah Presiden Obama untuk jadikan masalah Papua Barat sebagai agenda utama pembicaraannya dengan Presiden Indonesia. Rep. Eni menegaskan bahwa mayoritas dari mereka yang mengirim surat ini adalah anggota kaukus hitam yang memiliki komitmen yang tinggi untuk akhiri berbagai pelanggaran yang menyebabkan konflik yang berkepanjangan di Papua.

Solusi Washington
Dari perjalanan hearing ini, hasil yang bangsa Papua capai adalah bahwa pada akhirnya suara penderitaan bangsa Papua tercatat resmi. Washington Paham bahwa Otonomi Khusus gagal dan kegagalan itu bukan karena kemalasan orang Papua sebagaimana dikatakan oleh Nick Messet yang tegah menghina bangsanya sendiri demi uang dan jabatan. Kegagalan itu karena Pemerintah memang tidak punya niat yang baik sehingga mengagalkan sendiri program yang mereka paksakan kepada rakyat Papua.
Atas masalah ini, utusan bangsa Papua sudah jelas-jelas menyampaikan bahwa rakyat tolak otonomi. Langkah kongkrit yang akan dilakukan dalam kaitan ini adalah memastikan agar DPRP mengembalikan paket itu secara resmi sebagai hasil sidang istimewa/paripurna.

Catatan kedua dari perjalanan ini sebagai hasil yang akan disampaikan kepada rakyat Papua yang menanti kehadiran delegasi adalah bahwa Washington dan dunia paham bahwa bangsa Indonesia sedang habiskan bangsa Papua. Indonesia boleh membantah melalui pernyataan politisnya tetapi tidak akan mampu bantah akan crime against humanity yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua. Demi kepentingan hubungan bilateral, Amerika menolak mengakui akan adanya genocida tapi negara adidaya ini tidak akan menutupi bahwa penduduk Papua dalam waktu sangat singkat akan menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Sekalipun pemerintah melalui Departemen luar negerinya menolak penggunaan kata Genocide tapi menyadari akan slow motion genocide atas bangsa Papua Barat.
Jalan keluar dari masalah ini, bangsa Papua mempertegas pola perjuangan damai sebagaimana dilakukan selama ini. Dari pertemuan refleksi dan rekonsiliasi antara para pemimpin berbagai komponen perjuangan, kami sepakati untuk mengajak rakyat Papua Barat untuk melakukan doa dan puasa secara massal di seluruh tanah Papua. Kita sampai pada kesimpulan bahwa hanya Tuhan bisa hentikan kejahatan yang sedang melanda bangsa kami, Papua Barat. Doa ini bukan lagi doa kelompok tetapi doa bangsa papua yang akan dilakukan di seluruh Papua secara masal dan konsisten. Keputusan ini kita ambil sesudah mendengar sendiri bahwa dunia memahami akan proses pembasmian etnis tetapi demi hubungan baik, menggelak untuk masuk intervensi hentikan kekejaman ini. Maka pilihan terakhir adalah Bangsa Papua lari kembali kepada Tuhan yang menciptakan bangsa Papua dan menempatkannya di Tanah Papua. Keputusan aksi damai ini, di dukung berbagai pihak yang sempat kami jumpai dalam perjalanan ini.
Catatan ketiga dari perjalanan ini adalah pentingnya kesatuan dan persatuan. Dalam hearing misalnya, masalah kepemimpinan mendapat porsi waktu yang cukup lama. Tentu saja ada berbagai factor baik dari dalam bangsa papua dan juga dari luar. Kami sadar bahwa Indonesia akan senantiasa melahirkan manusia-manusia Papua yang rela menjual bangsanya sekedar untuk mencari makan dan jabatan. Mereka ini akan dipakai untuk memecah belah kesatuan yang kami ciptakan. Namun satu hal yang tidak bisa dibantah adalah bahwa hampir semua orang Papua memiliki anggota keluarga yang telah menjadi korban penguasa. Kita memiliki pengalaman buruk yang sama termasuk mereka yang memperjuangkan kepentingan Indonesia seperti Nick Messet misalnya dimana kaka kandungnya mati ditembak. Demikianpun sejumlah anggota keluarga Frans Albert Yoku yang juga menjadi korban kekerasaan pemerintah colonial Indonesia.
Dari perjalanan ini kami sudah berhasil rekonsiliasi antara berbagai komponen perjuangan. Kami yang hadir didepan ini berasal dari berbagai komponen utama perjuangan rakyat Papua. Komponen perjuangan yang kami maksudkan adalah PDP (Presidium Dewan Papua) dan WPNA (West papua Nasional Otorita) yang bergabung dibawah Consensus nasional dan komponen perjuangan lainnya yang tergabung dalam WPNCL (West Papua Nasional Coalision for Liberation). Di tambah dengan Dewan Adat Papua dan Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu. Untuk menjaga kesatuan ini kami membentuk Sekretariat bersama. Tuhan berkati rakyat Papua dan perjuangannya.