Senin, 13 Desember 2010

National Commission of Papua: 2010, Actors of Violence Dominated Security Forces

TEMPO Interactive, Jayapura - Papua records of Komnas HAM security forces violence against civilians in West Papua this year increased 70 percent from a year earlier. "In 2010 the highest. Most perpetrators are military and police apparatus. This year's violence-dominated authorities in Puncak Jaya district, "said Vice Chairman of Komnas HAM Papua, Mat. Murib told reporters on Tuesday (3 / 12) in Jayapura.

According Murib, the forerunner no political stability and security and politics in Papua begins on August 17, 2004. At that Goliath Tabuni come from Timika, precisely in time to Puncak Jaya's Coffee via Ilaga. "Actually, he aims to return to his village in Guragi and when it coincides with a meeting of the triangle of Gidi Church, Baptist and Kingmi (Gospel Tent Papua)," he said.

Goliath Tabuni is a person who by security forces in Indonesia is considered as the frontman of Free Papua Movement. He accused as perpetrators of a number of cases of attacks on security forces who served in the area.

According Murib, from where the prolonged conflict in this region to this day. After that, security forces tried to hunt down Goliath Tabuni. On 14 September 2004, for example, Task Force Special Forces troops back to Guragi in order to find, capture or shoot Goliath Tabuni. Kopassus troops found no Goliath, but ran into Pastor Elita Tabuni and his son also a pastor.

"Reverend Elita and her child can not answer because Elita and her son could not understand and speak Indonesian well so angry and Special Forces troops shot and killed Reverend Elisa Tabuni in state hands tied with rope. While his son managed to escape in a state hands tied, "explained Murib.

During the shooting or the murder of 6 non-Papuans, who works as a car driver on the road Hartop Trans Wamena, your Majesty, October 12, 2004, Tabuni also been blamed as the culprit. "The military accused the Goliath Tabuni, but suddenly appeared two new groups that are not clear other than the Group Marunggen Goliath Tabuni Wonda and the second group, led by Anton Tabuni," he explained ..

On October 16, 2004, Komnas HAM also noted there are arbitrary arrests against the chairman Klasis Yamo area, Pastor Jason Kogoya.

As a result of hunting, said Murib, many shootings occur and make the number of people believed to be hiding in the forests is estimated at 5,000 people. "It is not yet known the existence of these refugees because the territories had been blocked by the combined forces," he said. Usually, many residents of his death they fled into the jungle due to illness and also ran out of food because the army destroyed the results of the garden.

The incident continues to occur throughout the year until the year 2010. One called the National Human Rights Commission is Kindeman Gire pastor shot by the TNI on March 17, 2010 at Kelome, Tingginambut District. The next day, said Murib, the military surrounded the number of residents and perform a number of acts of violence against citizens.

Based on the recapitulation of Komnas HAM Papua, in 2004 recorded that there were five cases, 2005 of three cases, 2006 1 case, 2007 1 case, 2008 does not exist, 2009 occurred 8 cases, and in 2010 11 cases. The victim died, in 2004 7, 2006 2, 2007 1 dead, 2009 5 dead, 2010 there were 5 dead.

With so many events in Puncak Jaya, Papua National Human Rights Commission urged the governor of Papua to provide opportunity and support to the Church to negotiate with his people at the Puncak Jaya lovingly not by violence. "We also ask the military commander and police chief of Papua Trikora XVII to stop all operations and the efforts that the troop increase likely only add to the trauma and casualties on the civilian side again in Puncak Jaya and surrounding areas," he said.

To the civilians civilians throughout the Land of Papua who have been using a firearm, was asked to stop the violence and statements for the recovery. "We also asked the police chief of Papua to process the law each person / group that the suspect involved in the case of Puncak Jaya, from 2004 until 2010. The result on to convey to the parties and the public throughout Indonesia, "he said.

Besar Kecil Normal * * Bagikan8 * 0 Komnas Papua: 2010, Pelaku Kekerasan Didominasi Aparat Keamanan

TEMPO Interaktif, Jayapura - Komnas HAM Papua mencatat kekerasan aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua pada tahun ini meningkat 70 persen dari tahun sebelumnya. “Tahun 2010 paling tinggi. Kebanyakan pelakunya adalah aparat TNI dan Polri. Tahun ini kekersan aparat didominasi di daerah Puncak Jaya,” jelas Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib kepada wartawan, Selasa (3/12) di Jayapura.

Menurut Murib, cikal bakal tak stabilnya politik dan keamanan dan politik di Papua berawal pada 17 Agustus 2004. Saat itu Goliat Tabuni datang dari Timika, tepatnya di Kali Kopi ke Puncak Jaya lewat Ilaga. “Sebenarnya dia bertujuan pulang ke kampungnya di Guragi dan saat itu bertepatan dengan kegiatan rapat segi tiga dari Gereja Gidi, Baptis dan Kingmi (Kemah Injil Papua)," kata dia.

Goliat Tabuni adalah orang yang oleh aparat keamanan di Indonesia dianggap sebagai pentolan Organisasi Papua Merdeka. Dia dituding sebagai pelaku sejumlah kasus penyerangan terhadap aparat keamanan yang bertugas di daerah itu.

Menurut Murib, dari sinilah konflik di daerah ini berkepanjangan sampai hari ini. Setelah itu, aparat keamanan berusaha untuk memburu Goliat Tabuni. Pada 14 September 2004, misalnya, pasukan Satgas kopassus kembali ke Guragi dengan tujuan mencari, menangkap atau menembak Goliat Tabuni. Pasukan kopassus tidak menemukan Goliat, tetapi berpapasan dengan Pendeta Elita Tabuni dan anaknya juga seorang pendeta.

“Pendeta Elita dan anaknya tidak dapat menjawab karena Elita dan anaknya tidak bisa mengerti dan berbicara bahasa Indonesia dengan baik sehingga pasukan kopassus marah dan menembak mati Pendeta Elisa Tabuni dalam keadaan tangan terikat dengan tali. Sedangkan anaknya berhasil melarikan diri dalam keadaan tangan terikat,” urai Murib.

Saat terjadi penembakan atau pembunuhan terhadap 6 orang non Papua yang bekerja sebagai sopir mobil Hartop di jalan Trans Wamena, Mulia, 12 Oktober 2004, Tabuni juga dituding sebagai pelakunya. “Militer menuding Goliat Tabuni, tapi tiba-tiba muncul dua kelompok baru yang tidak jelas selain Goliat Tabuni yaitu Kelompok Marunggen Wonda dan kelompok kedua yang dipimpin oleh Anton Tabuni,” jelasnya..

Pada tanggal 16 Oktober 2004, Komnas HAM juga mencatat ada penangkapan sewenang–wenang terhadap ketua klasis wilayah Yamo, Pendeta Yason Kogoya.

Akibat sejumlah perburuan itu, kata Murib, banyak terjadi penembakan dan membuat jumlah penduduk yang diperkirakan bersembunyi di hutan- hutan diperkirakan mencapai 5.000 orang. “Sampai saat ini belum diketahui keberadaan para pengungsi ini karena wilayah-wilayah itu sudah diblokir oleh pasukan gabungan," kata dia. Biasanya banyak penduduk menemui ajalnya setelah mengungsi ke hutan karena sakit dan juga kehabisan bahan makanan karena militer memusnahkan hasil-hasil kebun.

Kejadian terus terjadi sepanjang tahun itu hingga tahun 2010. Salah satu yang disebut Komnas HAM adalah ditembaknya pendeta Kindeman Gire oleh TNI pada 17 Maret 2010 di Kelome, Distrik Tingginambut. Keesokan harinya, kata Murib, TNI mengepung sejumlah warga dan melakukan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga.

Berdasarkan hasil rekapitulasi Komnas HAM Papua, di tahun 2004 tercatat ada lima kasus, 2005 tiga kasus, 2006 1 kasus, 2007 1 kasus, 2008 tidak ada, 2009 terjadi 8 kasus, dan tahun 2010 11 kasus. Korban meninggal, di tahun 2004 7 orang, 2006 2 orang, 2007 1 meninggal, 2009 5 meninggal, 2010 terdapat 5 meninggal.

Dengan banyaknya kejadian di Puncak Jaya, Komnas HAM Papua mendesak Gubernur Papua untuk memberikan kesempatan dan dukungan kepada pihak Gereja melakukan negosiasi dengan umat-Nya di Puncak Jaya dengan penuh kasih sayang bukan dengan cara kekerasan. “Kami juga minta kepada Pangdam XVII Trikora dan Kapolda Papua untuk menghentikan semua operasi dan upaya penambahan pasukan yang hanya menambah trauma dan berpeluang jatuhnya korban di pihak warga sipil lagi di Puncak Jaya dan sekitarnya,” ungkapnya.

Kepada warga sipil warga sipil di seluruh Tanah Papua yang selama ini menggunakan senjata api, diminta untuk menghentikan aksi kekerasan dan konsolidasi untuk pemulihan. “Kami juga meminta kepada Kapolda Papua untuk memproses hukum setiap orang/kelompok yang di duga terlibat dalam kasus Puncak Jaya, sejak tahun 2004 sampai 2010. Hasilnya di sampaikan kepada para pihak dan publik di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Pondasi Politik Papua Rapuh, Pendekatan Keamanan Bukan Solusi Utama | Politik

Jakarta, seruu.com - Pendekatan keamanan untuk menyelesaikan masalah Papua terbukti gagal. Akibatnya, jumlah kasus kekerasan politik di Papua terus bertambah. Hal itu diungkapkan Ketua Tim Kajian Papua, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S Widjojo dalam diskusi ”Refleksi Akhir Tahun Papua 2010”, Senin (13/12).

”Pondasi politik Papua untuk membangun demokrasi dan perdamaian di Indonesia semakin rapuh,” kata Muridan.

Hasil penelitian LIPI menemukan bukti bahwa sepanjang tahun 2010 gerakan Organisasi Papua Merdeka di Puncak Jaya semakin agresif. Terjadi sekitar 17 kontak senjata dan serangan terhadap masyarakat sipil di kawasan tersebut.

Dengan dalih menangkap anggota OPM, polisi dan TNI kerap melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

”Ini terlihat dari berbagai tindak kekerasan yang terjadi di Papua. Diantaranya pada bulan Oktober, muncul video yang berisi penyiksaan oleh TNI. Kemudian di bulan November, terjadi aksi penembakan beruntun di Nafri, Jayapura oleh orang tidak dikenal. Dalam kejadian itu, satu orangg tewas dan empat orang terluka,” ujar Muridan.

Menurut Muridan, kebuntuan politik Jakarta-Papua menyebabkan pondasi politik di Papua rapuh dan mudah goncang. Pemerintah menyepelekan aspirasi rakyat Papua yang meminta Otonomi Khusus dicabut.

Pemerintah menganggap desakan tersebut hanya provokasi segelintir pimpinan Majelis Rakyat Papua yang masa jabatannya akan berakhir. ”Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah berada pada titik yang paling tinggi,” kata Muridan.

Menurut Ketua Kaukus Papua di DPR, Paskalis Kossay, kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah semakin luntur. Ini disebabkan meningkatnya konflik pemerintah daerah dengan pusat.

”Kalau saya melihat, saat ini secara sosiologis dan psikologis, orang Papua tidak merasa bagian dari Indonesia. Orang Papua menganggap pemerintah sebagai penjajah,” ujarnya.

Ketua Komisi I DPR, Mahfud Siddiq mengatakan, masalah Papua bukan satu-satunya persoalan daerah yang serius. Banyak persoalan daerah lainnya yang lebih serius dan rumit.

Menurut Mahfud, pemerintah seharusnya dapat menyelesaikan masalah Papua lebih cepat. Jika masalah Papua tidak segera diselesaikan, pemerintah akan menghadapi lebih banyak persoalan politik.

”Presiden harus segera melakukan dialog perdamaian pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Agar di tahun 2014, Papua bisa ikut bergabung dengan aman dalam pemilihan umum,” ujar Mahfud. [vhr/ms]

Kalapas Abe dan 14 Staf Dituding Lakukan Kekerasan Terhadap Napi

Kalapas Abe dan 14 Staf Dituding Lakukan Kekerasan Terhadap Napi
Sitinjak: Mereka yang Lebih Dulu Lempari Lembaga

JAYAPURA- Rentetan dua aksi kekerasan terpisah yang terjadi di Abepura dalam dua bulan terakhir , belum mendapatkan kejelasan siapa sebenarnya pelaku kekerasan di dalam LP itu. Karena itu aparat kepolisisan diharapkan lebih serius dalam melakukan penelitian untuk dapat menyingkap dua aksi yang telah mendorong aparat melakukan penyisiran di wilayah Abepura. Penegasan, agar aparat dapat melakukan penelitian yang lebih manusiawi terlebih bila berhadapan dengan para korban, terungkap kembali dalam jumpa Pers yang dilakukan Forum Demokrasi Rakyat Papua( Fordem ) Senin ( 13/12) di Abepura.Dari semua rentetan peristiwa salah satunya penembakan di Nafri dan kaburnya kelima orang Narapidana dari Lapas Abepura masih menimbulkan pertanyaan besar dari Fordem terutama dalam menyikapi tindakan pemindahan paksa lima orang narapidana salah satunya Filep Karma, Buctar Tabuni, Dominggus Pulalo, Lopez Karubaba dan Eni Elopere dari lembaga pemasyarakatan Abepura ke rumah tahanan Polda Papua dinilai tidak jelas statusnya untuk kelimanya.

Kelima orang Napi tersebut, dua diantaranya merupakan Napol sementara tiga lainnya napi yang tersangkut kasus kriminal biasa. Dari pengakuan lima terpidana, mereka dijemput aparat kepolisian dari Polda Papua dan dipindahkan pada Jumat 3 Desember sekitar pukul 23.00 malam atas perintah Kalapas Abepura Berthy Sitinjak.Hingga saat ini, pihak Lapas belum memberitahukan secara langsung kepada mereka apa yang menjadi alasan mereka dipindahkan ke rutan Polda Papua, sebab yang diutarakan kalapas justru pernyataannya kepada Media bahwa kelima narapidana ini dianggap telah memprovokasi para narapidana lainnya dengan merusak fasilitas bangunan di LP Abepura pada jumat sore.Menurut kelima narapidana, terjadinya pengrusakan beberapa bagian kaca bangunan Lapas sebagai wujud dari ketidakpuasan para narapidana terhadap sikap Kalapas yang tidak terbuka dan tidak bertanggung jawab menjelaskan mengapa lima orang kawan mereka bisa melarikan diri pada siang hari tepat dijam yang sama sekitar pukul 12 waktu Papua pada 3 Desember lalu yang menyebabkan seorang diantaranya tertembak mati oleh aparat TNI- Polri.

Korban tewas tertembak atas nama Wiron Wetipo itu, sesuai pengakuan mereka, bahwa posisi Filep Karma dan Buctar Tabuni saat itu hanyalah berjuang meredahkan kemarahan narapidana lainnya sambil meminta staf Lapas untuk menghadirkan Kalapas ke LP Abepura guna menjelaskan nasib narapidana yang ditembak mati di Tanah Hitam Abepura. Menurut Fordem, seperti yang diungkapkan Simon Yumame kepada wartawan posisi Dominggus Pulalo, Lopez Karubaba dan Eni Elopere yang tidak terlibat melakukan pengrusakan fasilitas Lapas, namun dianiaya oleh Kalapas Berthy Sitinjak bersama sekitar 14 orang anak buahnya.Tindakan sewenang wenang Kepala Penjara dan bawahannya ini menyebabkan narapidana yang bernama Dominggus Pulalo mengalami luka robek di telinga kiri, bengkak pada kepala dan rusuk akibat tendangan dan injakan bertubi tubi saat dianiaya.Korban hingga kini masih merasa pusing dan sakit sekujur tubuhnya, ujar Frederika Korain. Menurut keterangan Filep Karma dan kawan kawannya sesama Napi, kelima narapidana yang lari dari penjara Abepura pada jumat 3 Desember lalu adalah narapidana murni dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan Politik Papua atau OPM atau organisasi apapun didalam LP sebab selama ini mereka hanya menekuni bidang keterampuilan anyaman dan berkebun sayuran.

Berdasarkan fakta fakta tersebut, Fordem mendesak Kalapas Abepura Berthy Sitinjak dan Kakanwil Hukum dan HAM Nasarudin Bunas untuk bertanggung jawab dan segera mengembalikan kelima narapidana untuk menjalani sisa masa tahanan mereka di LP Abepura, serta menjelaskan kepada publik di Papua mengapa kelima narapidana termasuk Wiron Wetipo yang tertembak aparat dengan mudahnya melarikan diri keluar Lapas ditengah sistim pengamanan Lapas yang ketat.
Fordem juga mendesak Menteri Hukum dan HAM serta Ditjen Lapas untuk segera menindak tegas Kepala penjara Abepura atas kekerasan yang dilakukannya dengan sewenang wenang kepada narapidana di penjara Abepura. Menurut Fordem dalam jumpa pers yang dilakukan, justru sikap Kepala Penjara Berty Sitinjak telah menunjukkan bahwa yang bersangkutan tak benar lagi dalam melakukan pembinaan terhadap para narapidana dan malah menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi narapidana secara khusus aparat TNI dan Polri yang sewenang wenang melakukan penembakan terhadap narapidana Wiron Wetipo yang kedapatan meninggal dunia.

Dengan rentetan dua kejadian di Nafri dan kaburnya narapidana itu, Fordem secara tegas meminta aparat TNI dan Polri agar dalam menyelidiki kasus penembakan Nafri maupun kasus hukum lainnya, tidak menggunakan kekerasan serta lebih berlaku profesional dan taat hukum sehingga tidak menimbulkan ketakutan yang mendalam dikalangan warga sipil di Kota jayapura dan sekitarnya.
Kalapas Abepura Berthy Sitinjak, yang dihubungi terpisah soal adanya tudingan keterlibatnnya bersama stafnya melakukan kekerasan terhadap napi di penjara Abepura, menanggapinya biasa. Dikatakan, tudingan itu merupakan hak mereka untuk menyatakan Kalapas bersama anak buahnya lakukan kekerasan, tetapi yang jelas lanjut kalapas, justru merekalah yang dahulu melakukan pelemparan kantor Kalapas. “Dan buktinya kami telah adukan mereka ke Polda Papua dan merekalah yang terlibat peristiwa 3 Desember lalu, “kata Kalapas sambil menambahkan mereka juga menghasut dan melempari anak buahnya. BUktinya katanya kelima orang itu sudah tindaklanjuti ke Polda Papua dan hari Rabu, ( 8/12) Polisi dari Polsek Abepura telah melakukan olah TKP.(Ven/don/03)