Selasa, 05 Oktober 2010

A.S. Prihatin atas Sikap Indonesia terhadap West Papua

Keprihatinan mendalam disampaikan Amerika Serikat tentang perlakuan atas orang West Papua dalam kekuasaan Indonesia.

Untuk pertama kalinya Kongress A.S. membuka sesi khusus mendengarkan isu-isu yang berpengaruh terhadap provinsi orang Melansia itu.

Para anggota perwakilan diberitahu tentang pelanggaran HAM yang sedang berlangsung dan tuduhan bahwa Indonesia gagal memberikan Otsus kepada West Papua yang telah ia janjikan 9 tahun lalu.

Yang memimpin penyampaikan ini ialah Anggota Kongress dari Samoa Amerika, Eni Faleomavaega, yang juga adalah Ketua Sub Komisi Parlemen Urusan Asia-Pasifik dan Lingkungan Global.

Presenter: Helene Hofman
Pembicara: Eni Faleomavaega, American Samoa’s Congressman

FALEOMAVAEGA: Setahu saya ini pertama kali Kongres A.S. menyelenggarakan sesi khusus untuk keseluruhan pertanyaan tentang West Papua, menyangkut segala hal, sejarahnya dan situasi sekarang, khususnya era penjajahan Belanda dan bagaimana diambil alih secara militer di bawah pemerintahan Sukarno dan Suharto.

HOFMAN: Jadi, A.S. punya dua keprihatinan utama, sebagaimana saya pahami, satunya mendesak untuk kemerdekaan dan lainnya pelanggaran HAM?

FALEOMAVAEGA: Tidak, isu kemerdekaan selalu menjadi bagian dari pemikiran sejumlah orang West Papua. Saya mengikuti isu ini sudah sepuluh tahun sekarang dan merasa bahwa mengigat tahun-tahun kami bekerjasama dengan Jakarta, khususnya saat Jakarta mengumumkan akan memberikan UU Otsus kepada orang West Papua sejak 2001 dan harapan bahwa orang West Papua akan diberikan otonomi yang lebih. Well, sembilan tahun kemudian, tidak ada kemajuan atau gerakan yang terjadi untuk memberikan otonomi yang lebih banyak itu kepada orang West Papua dan dalam hal ini kami sudah ikuti dalam beberapa tahun belakangan dan kami harap Jakarta cepat tanggap terhadap pertanyaan dan keprihatinan kami.

HOFMAN: Saya mengerti ada isu pelanggaran HAM juga. Saya tahu Anda juga sedang mengklasifikasikan apa yang terjadi di West Papua itu sebagai sebuah perbuatan “genosida” (ed-tindakan yang dimaksudkan untuk dan berakibat penghapusan etnik), yang mana tidak mendapatkan oposisi di Amerika Serikat?

FALEOMAVAEGA: Well, ini isu yang terus berlanjut. Sebelum Timor Leste diberikan kemerdekaan 200.000 orang disiksa dan dibantai. Militer Indonesia lakukan hal yang sama di West Papua, angka konservativ 1000.000 orang, yang dilakukan oleh militer Indonesia. Yang lain mengatakan 200.000 orang orang West Papua dibunuh dan disiksa, dibunuh tanpa belas kasihan oleh militer. Jadi, ya ada persoalan genosida di sana. Saya sangat, sangat prihatin bahwa isu ini terus berlanjut dan kami mau memastikan bahwa orang-orang di sana diperlakukan adil.

HOFMAN: Apa yang dapat dilakukan A.S. tentang ini? Sekarang ada penyampaian khusus tentang West Papua? Apa harapan Anda yang akan jadi sebagai hasil dari ini?

FALEOMAVAEGA: Well, sistem pemerintahan kami agar berbeda dari sistem parlementer dan dalam sistem kami cabang yang setara dengan pemerintahan dan kami bekerjasama. Kami semua tahu bahwa Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Baru-baru ini mulai muncul untuk menjadi demokratis dan kita semua mendukung itu. Tetapi pad waktu bersama ada legacy tentang apa yang ia telah lakukan kepada orang West Papua, pertama dalam kolonialisme Belanda, kini penjajah lain menjajah orang-orang ini yang tidak punya hubungan budaya, etnik, hubungan sejarah sama sekali dengan orang-orang Indonesia, atau bisa dikatakan orang-orang Jawa ini yang tinggal di tanah air Indonesia. Ini orang-orang Melanesia dan secara budaya ada keprihatinan yang sangat, amat bahwa orang-orang ini semakin lama semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan di dunia mereka sendiri, dan memang ada keprihatinan mendalam tentang apa yang Jakarta lakukan terhadap isu ini.

HOFMAN: Jadi apa pesisnya yang dapat dilakukan A.S.? Kenapa orang Indonesia harus dengarkan A.S.?

FALEOMAVAEGA: Indonesia tidak harus dengarkan A.S. Tetapi saya yakin negara-negara lain di dunia akan lihat, Hey, kami bisa katakan hal yang sama dengan apartheid, isu Afrika Selatan, apa yang terjadi dengan mereka. Kalau dunia tidak menekan Afrika Selatan untuk merubah apa yang dilakukannya, mereka tidak buat apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa terhadap kebijakan apartheid di sana, dan saya pikir cara yang sama kita berikan perhatian ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengikuti jalan-jalan yang telah dilalui orang Timor Leste.

HOFMAN: Jadi, apa langkah berikutnya setelah sesi ini?

FALEOMAVAEGA: Well, penyampaian terbuka ini bagian dari proses itu. Ini cara operasi sistem pemerintahan kami. Kami lakukan dengar pendapat, dan Pemilu November mendatang mungkin akan terjadi perubahan dan kami menjembatani saat kami melewati proses itu, dan bila saya terpilih kembali saya jani kepada Anda bahwa saya akan angkat isu itu terus, tidak hanya dengan Jakarta, tetapi juga di Kongres dan juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami perlu menaruh perhatian lebih kepada masalah-masalah yang dihadapi orang West Papua sekarang.

Seruan Kepada Masyarakat Adat Papua di Wilayah Mbadlima


Menanggapi kondisi HAM dan keamanan terakhir di West Papua, khususnya di Wilayah Mbadlima, maka disampaikan kepada seluruh Masyarakat Adat Melanesia khususnya di Pegunungan Tengah dan MADAT Papua pada umumnya bahwa:

1. Masyarakat Adat Melanesia West Papua perlu menyadari bahwa dengan kekejaman Polisi Indonesia pada saat ini, mengulangi kekerasan-kekerasan sebelumnya semakin lama semakin meyakinkan kepada dunia semesta, khususnya para anggota Kongres di Amerika Serikat dan Anggota Parlemen di Kerajaan Inggris bahwa janji demokratisasi di West Papua di dalam NKRI dalam proses otonomisasi untuk Provinsi Papua, mengatakan, “Papua lebih bagus dan lebih aman di dalam Indonesia,”, “Papua sedang dibandung lebih baik dengan penghargaan HAM yang lebih baik,” dan berbagai janji manis lainnya itu ternyata dan terbukti “TIDAK BENAR!”, dan ketidak-benaran itu sudah berulang-kali disampaikan oleh orang Papua, tetapi sekarang Polisi Indonesia sendiri mengumumkannya kepada dunia bahwa “Pemerintah Indonesia telah menipu dunia.”
2. Kleim Indonesia bahwa pelanggaran HAM hanya pernah terjadi di era Orde Baru dan saat ini pelanggaran HAM sudah tidak ada, terbukit TIDAK BENAR! Jadi, polisi dan politisi Indonesia sedang berbicara dalam dua bahasa yang berbeda, yang semakin membingungkan dunia, “Apakah Indonesia sanggup membangun West Papua, atau sebaiknya West Papua dikeluarkan dari Indonesia supaya membangun dirinya?”

Selanjutnya sikap yang perlu diambil MADAT Papua, khususnya di Mbadlima dan sekitarnya adalah;

1. Memandang dan menyerahkan nyawa orang Papua yang telah dibunuh dengan keji itu sebagai bagian dari para pahlawan yang telah gugur di medan dalam memperjuangkan hargadiri, martabat dan aspirasi bangsa Papua;
2. Memandang dan memperlakukan mereka yang ada di rumah sakit dan yang ditahan aparat NKRI sebagai para pejuang yang memperjuangkan hargadiri, martabat dan aspirasi bangsa dan tanah airnya;
3. Dengan demikian, TIDAK PERLU dan TIDAK ADA HUBUNGAN melakukan pembicaraan-pembicaraan, entah dalam bentuk dialogue, tukar-pikiran, dan sebagainya yang diselenggarakan oleh Polisi Indonesia dengan tujuan mendamaikan orang Papua dengan NKRI.Alasannya karena kedua bangsa yang berbeda, berada di pulau yang berbeda itu akan melakukan pembicaraan pada SAATnya, bukan pada saat ini. Ada waktu dan tempat yang akan disediakan untuk melakukan pembicaraan sebagai dua bangsa dan dua wilayah yang berbeda, sederajad dan bermartabat. Oleh karena itu, melakukan pembicaraan-pembicaraan saat ini dengan alasan apapun merupakan tanda bahwa bangsa Papua tunduk kepada NKRI.
4. KATAKAN kepada Polisi Indonesia bahwa para Kepala Suku Papua SANGGUP dan DAPAT dan oleh karena itu PASTI AKAN mengamankan MADAT Papua untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan anarkis yang mengganggu ketertiban umum TANPA, sekali lagi TANPA keterlibatan Polisi Indonesia, dan TANPA harus berdialogue dengan aparat NKRI.Biarkanlah para tokoh gereja atau pejabat pemerintah asal Papua melakukan pembicaraan-pembicaraan untuk kepentingan jabatan dan tugas negara mereka, tetapi Masyarakat Adat Papua tidak ada urusan dengan itu. Yang penting kami MADAT Papua mau hidup damai, dan hidup damai itu TIDAK KARENA DIAMANKAN Polisi Indonesia, tetapi karena adat dan norma adat kami mengharuskan kami untuk hidup demikian, baik di bawah pendudukan NKRI maupun terlebih setelah Papua Merdeka.
5. Kunci dari kekerasan Polisi Indonesia ini adalah mementahkan wacana dan argumen mereka di pentas politik dunia bahwa sekarang ini sudah tidak ada pelanggaran HAM lagi di Tanah Papua. Ternyata wacana mereka itu dibuktikan tidak benar oleh perbuatan mereka sendiri. Biarkan perbuatan mereka sendiri membantah perkataan mereka.

Demikian seruan ini disampaikan untuk diperhatikan dan dilaksanakan di lapangan, khususnya oleh Para Tokoh Adat dan Kepala Suku Perang MADAT Papua di Pegunungan Tengah West Papua.

Hormat kami,

Amunggut Tabi

MEDIA RELEASE PIMPINAN PAPUA Jeritan Rakyat Papua Akan Nasibnya yang menuju ke Punahan Tercacat resmi di DPR Amerika


Diiringi, pukulan tifa dan lagu E Mambo Simbo, rakyat Papua kembali mencatat sejarah baru dalam diplomasi diluar negeri. Kali ini beberapa pimpinan komponen perjuangan bangsa Papua berhasil mengugah hati wakil rakyat, pemerintah dan beberapa kantor penting lainnya di Amerika. Suara dari jeritan bangsa Papua itupun didengar secara resmi di berbagai kantor lainnya sesudah acara Hearing tentang Papua yang di pimpin Ketua Sub-Komisi Asia Pasifik dan Lingkungan Global, Rep. Eni F.H Faleomavaega. Rep. Eni, yang selama puluhan tahun sudah menyuarakan aspirasi rakyat Papua tersebut mengulangi kata-kata tokoh hitam dunia, Nelson Mandela: Enough is Enough dan jeritan rakyat Papua itupun tercatat secara resmi dalam Sidang DPR Amerika.
Petang itu, jam 3 sore, pada hari Selasa 22 September 2010, jeritan rakyat Papua akan nasib bangsanya didengar secara resmi di gedung DPR Amerika. Sebelum memimpin rapat yang bersejarah bagi rakyat Papua itu, Rep. Eni F.H. Faleomavaega, Ketua Sub Komisi Asia Pasifik dan Lingkungan Global memberikan kesempatan kepada utusan wakil rakyat Papua dari berbagai komponen perjuangan untuk mementaskan tari dan lagu. Kecuali Frans Albert Yoku dan Nick Messet yang diantar Kedutaan Besar Republik Indonesia, orang-orang Papua didalam ruangan itu berdiri secara spontan maju ke depan dan mengalunkan lagu E Simbo Mambo dipimpin Henk Rumbewas yang memukul Tifa yang ia sudah pakai keliling ke berbagai belahan bumi mengisahkan penderitaan bangsa Papua dalam tari dan lagu.
Ketua sub-Komisi Asia Pasifik, Rep. Eni menguraikan tragedy kemanusiaan yang melanda bangsa papua baik akan sejarah peralihan, sejarah penindasan yang dilakukan Bangsa Indonesia dalam era dictator Soeharto hingga dalam era reformasi saat ini. Rep. Eni yang sudah puluhan tahun memperjuangkan masalah Papua Barat entah dalam politik negara Amerika, maupun ke tingkat Internasional ikut mendukung pendapat yang menyebutkan bahwa Indonesia sedang melakukan sedang menghabiskan bangsa Papua atau slow motion genocide.
Untuk menggambarkan kekejaman itu, Wakil rakyat dari Samoa ini mengawali sidang ini dengan menceritakan pengalaman pribadi akan bagaimana Pemerintah Indonesia SB Yudhoyono terhadap dirinya. Rep. Eni menceritakan, “ketika itu, tahun 2007, saya memimpin Delegasi Kongres sesuai ijin pribadi Presiden SB Yudhoyono dan Wakilnya Yusuf Kallah yang memberikan jaminan 5 hari berkunjung ke Biak, Manokwari dan lebih penting lagi Jayapura. Beberapa saat menjelang pemberangkatan, saya dikabari bahwa hanya akan diberi ijin 3 hari kunjungan. Dan begitu saya tiba di Jakarta pada tanggal 25 November 2007, saya diberitahukan bahwa hanya diperkenankan berkunjung 1 hari saja. Dan dalam kenyataannya, saya hanya diperkenankan untuk berkunjung selama 2 jam di Biak dan 10 menit di Manokwari. Saya pun dicegat untuk bertemu dengan rakyat yang diblokade Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya, Rep Eni memperlihatkan video tape pengaturan di lapangan yang diatur sedemikian rupa untuk memperlihatkan betapa Papua begitu rawan. Tayangan itu sungguh memperlihatkan wajah arogansi pemerintah dan militer, dimana kalau seorang anggota Kongres yang memimpin delegasi resmi sebagai tamu negara diperlakukan demikian, apalagi rakyat papua demikian komentar beberapa orang warga Amerika yang duduk dalam ruangan hearing tersebut.

Dari Istana Merdeka, Menuju Gedung Capitol
Bila dilihat dari aspirasi yang masyarakat Papua sampaikan adalah sama yakni merdeka sebagai satu-satunya jalan guna menyelamatkan diri dari kepunahan. Dalam Istana Negara Republik Indonesia, pada tanggal 25 Februari 1999, Agus Alua yang kini adalah Ketua MRP sebagai salah satu juru bicara yang mewakili kaum intelektual memohon: …. Bapak Presiden Ijinkan kami pulang dengan bebas menata diri kami secara bebas sebelum punah dari tanah kami. Dalam hearing 22 September 2010 ini, tiga orang Papua yang menjadi jurubicara meneruskan keputusan rakyat Papua yang melihat referendum sebagai satu-satunya jalan dalam menyelamatkan diri dari proses kepunahan bangsa Papua dari tanahnya. Jadi baik di Jakarta maupun Papua, kemerdekaan bagi Papua adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari slow motion genocide yang sedang dilakukan bangsa Indonesia.
Apa yang terus disuarakan juru bicara bangsa Papua ini bukan saja sebuah pernyataan politik tetapi ia merupakan sebuah fakta yang diakui sejumlah pihak. Beberapa lembaga akademis, bukan saja mengakui akan fakta crime against humanity melainkan genocide. Berbagai lembaga Hak Asasi Manusia tingkat dunia yang memberikan perhatian di Indonesia dan khususnya di Papua sudah berkali-kali mengeluarkan laporan demi laporan akan kejahatan kemanusiaan yang sudah berlangsung sejak Papua dipaksa menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Dari sisi perbandingan populasi, dimana orang Papua yang jumlahnya kurang dari 1,5 juta jiwa ini sudah pasti akan habis ditengah lebih dari 250 juta penduduk. Maka tidaklah berlebihan bila Juan Mandez, pembantu khusus Sekertaris General PBB dalam urusan pencegahan Genocide beberapa tahun lalu memasukkan Papua Barat sebagai satu diantara beberapa bangsa didunia yang sedang menuju kepunahan.
Dari sisi jurubicara, ada yang pro Merdeka dan yang tidak. Di Jakarta, secretariat negara dan aparat keamanan merekayasa memasukkan puluhan orang Papua diluar 100 orang Wakil Rakyat Papua yang diundang resmi oleh Presiden BJ Habibie. Diantara mereka ini, paling tidak ada 3 orang yang diminta maju menyampaikan aspirasi minoritas yang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Washington, atas nama demokrasi Ketua Komisi Luar Negeri, Rep. Eni memang mengundang Nick Messet dan Frans Albert Yoku sebagai kelompok minoritas di Papua yang mempertahankan Papua sebagai integral dari Negara Republik Indonesia. Namun yang menarik adalah isi dari statement tertulis yang dibacakan Nick Messet memperlihatkan secara jelas bahwa naskah itu dipersiapkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Bukan saja bahasanya rumusan standar yang sudah sangat sering disebutkan pejabat Indonesia termasuk menyerang dan melecehkan Eni sebagai seorang politisi Amerika tidak bertanggungjawab yang membakar situasi Papua. Sementara itu, dari sisi orang papua paling tidak ada 3 orang Papua, Octovianus Mote, Henk Rumbewas dan Salmon Yumame yang menjuarakan aspirasi rakyat Papua. Selain itu ada tiga orang barat yang memberikan kesaksian sesuai keahlian mereka yakni Professor Piet Drooglever, penulis buku sejarah Peralihan Act of Free choice yang menguraikan secara detail proses manipulasi sejarah tersebut dalam buku yang amat tebal … halaman. Lalu Dr Eben Kirksey, ahli Papua yang banyak melakukan penelitian mengenai berbagai macam kekerasan di Papua dan Dr Sophia Richardson, dari Human Rights Watch. Sebelum 9 orang saksi tersebut, ditampilkan pula 2 orang Amerika yang dimintai keterangan mewakili suara Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan.

Konsekwensi dari dihadirkannya orang papua yang memiliki pandangan politik yang berbeda ini, sulit dihindarkan konflik antara sesama orang Papua. Bila di Istana Negara, Presiden dengan penuh emosi meminta kepada anak buahnya hentikan rekayasa itu guna memenuhi permintaan Ketua Tim 100, Tom Beanal maka di Amerika, Rep. Eni meminta agar tidak usah cuci kotoran di celana dalam saudara sendiri di depan umum. Selain itu kalau di Jakarta, para pembicara karbitan tersebut hanya bisa merekayasa pernyataan politik tanpa fakta maka Nick Messet di dalam acara dengar pendapat ini pun merakit keberhasilan otonomi padahal kenyataannya program itu diakui gagal sampai Presiden Republik Indonesia membentuk Tim Evaluasi. Dan yang paling memalukkan adalah pernyataan dua orang Papua yang dipakai Indonesia ini maupun pemerintah Republik Indonesia bahwa Rep. Eni mendukung Otonomi Khusus dan menolak merdeka. Ini bertentangan dengan realita pembicaraan sebagaimana bisa dibaca secara umum bahwa para utusan rakyat Papua itu tidak datang untuk minta diakui kemerdekaan melainkan memperjuangkan suatu kesempatan yang memungkinkan rakyat papua menentukkan massa depannya agar tidak punah dari negeri sendiri. Akan halnya otonomi khusus, Rep. Eni akui bahwa program ini gagal namun pertanyaan adalah apa jalan keluarnya sebagai ganti penolakkan otonomi khusus. Dalam hal ini ia menantang orang Papua untuk bersatu memilih pemimpinnya yang berani menyuarakan aspirasi rakyat.
Dino Patti Djalal, Dutabesar Indonesia untuk Amerika serikat menyepelehkan dengar pendapat ini karena menurutnya hanya dihadiri oleh 3 orang anggota kongres apalagi ia yakin betul bahwa hearing ini tidak akan mengubah kebijaksanaan Pemerintah Amerika. Rep. Eni Faleomavaenga, timpali dengan mengatakan bahwa sekalipun dimata Dino, Hearing ini tidak penting tapi yang ia tidak sadari adalah bahwa berbagai pertemuan penting yang dilakukan oleh delegasi Papua Barat dengan berbagai lembaga penting seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan Dewan Pertahanan Nasional serta sejumlah anggota kongres yang sangat berpengaruh yang tidak hadir hearing karena kesibukan mereka. Rep. Eni menambahkan lebih jauh akan surat dari 50 anggota Kongres Amerika yang peduli akan Indonesia yang gagal melaksanakan otonomi khusus dan karenanya memintah Presiden Obama untuk jadikan masalah Papua Barat sebagai agenda utama pembicaraannya dengan Presiden Indonesia. Rep. Eni menegaskan bahwa mayoritas dari mereka yang mengirim surat ini adalah anggota kaukus hitam yang memiliki komitmen yang tinggi untuk akhiri berbagai pelanggaran yang menyebabkan konflik yang berkepanjangan di Papua.

Solusi Washington
Dari perjalanan hearing ini, hasil yang bangsa Papua capai adalah bahwa pada akhirnya suara penderitaan bangsa Papua tercatat resmi. Washington Paham bahwa Otonomi Khusus gagal dan kegagalan itu bukan karena kemalasan orang Papua sebagaimana dikatakan oleh Nick Messet yang tegah menghina bangsanya sendiri demi uang dan jabatan. Kegagalan itu karena Pemerintah memang tidak punya niat yang baik sehingga mengagalkan sendiri program yang mereka paksakan kepada rakyat Papua.
Atas masalah ini, utusan bangsa Papua sudah jelas-jelas menyampaikan bahwa rakyat tolak otonomi. Langkah kongkrit yang akan dilakukan dalam kaitan ini adalah memastikan agar DPRP mengembalikan paket itu secara resmi sebagai hasil sidang istimewa/paripurna.

Catatan kedua dari perjalanan ini sebagai hasil yang akan disampaikan kepada rakyat Papua yang menanti kehadiran delegasi adalah bahwa Washington dan dunia paham bahwa bangsa Indonesia sedang habiskan bangsa Papua. Indonesia boleh membantah melalui pernyataan politisnya tetapi tidak akan mampu bantah akan crime against humanity yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua. Demi kepentingan hubungan bilateral, Amerika menolak mengakui akan adanya genocida tapi negara adidaya ini tidak akan menutupi bahwa penduduk Papua dalam waktu sangat singkat akan menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Sekalipun pemerintah melalui Departemen luar negerinya menolak penggunaan kata Genocide tapi menyadari akan slow motion genocide atas bangsa Papua Barat.
Jalan keluar dari masalah ini, bangsa Papua mempertegas pola perjuangan damai sebagaimana dilakukan selama ini. Dari pertemuan refleksi dan rekonsiliasi antara para pemimpin berbagai komponen perjuangan, kami sepakati untuk mengajak rakyat Papua Barat untuk melakukan doa dan puasa secara massal di seluruh tanah Papua. Kita sampai pada kesimpulan bahwa hanya Tuhan bisa hentikan kejahatan yang sedang melanda bangsa kami, Papua Barat. Doa ini bukan lagi doa kelompok tetapi doa bangsa papua yang akan dilakukan di seluruh Papua secara masal dan konsisten. Keputusan ini kita ambil sesudah mendengar sendiri bahwa dunia memahami akan proses pembasmian etnis tetapi demi hubungan baik, menggelak untuk masuk intervensi hentikan kekejaman ini. Maka pilihan terakhir adalah Bangsa Papua lari kembali kepada Tuhan yang menciptakan bangsa Papua dan menempatkannya di Tanah Papua. Keputusan aksi damai ini, di dukung berbagai pihak yang sempat kami jumpai dalam perjalanan ini.
Catatan ketiga dari perjalanan ini adalah pentingnya kesatuan dan persatuan. Dalam hearing misalnya, masalah kepemimpinan mendapat porsi waktu yang cukup lama. Tentu saja ada berbagai factor baik dari dalam bangsa papua dan juga dari luar. Kami sadar bahwa Indonesia akan senantiasa melahirkan manusia-manusia Papua yang rela menjual bangsanya sekedar untuk mencari makan dan jabatan. Mereka ini akan dipakai untuk memecah belah kesatuan yang kami ciptakan. Namun satu hal yang tidak bisa dibantah adalah bahwa hampir semua orang Papua memiliki anggota keluarga yang telah menjadi korban penguasa. Kita memiliki pengalaman buruk yang sama termasuk mereka yang memperjuangkan kepentingan Indonesia seperti Nick Messet misalnya dimana kaka kandungnya mati ditembak. Demikianpun sejumlah anggota keluarga Frans Albert Yoku yang juga menjadi korban kekerasaan pemerintah colonial Indonesia.
Dari perjalanan ini kami sudah berhasil rekonsiliasi antara berbagai komponen perjuangan. Kami yang hadir didepan ini berasal dari berbagai komponen utama perjuangan rakyat Papua. Komponen perjuangan yang kami maksudkan adalah PDP (Presidium Dewan Papua) dan WPNA (West papua Nasional Otorita) yang bergabung dibawah Consensus nasional dan komponen perjuangan lainnya yang tergabung dalam WPNCL (West Papua Nasional Coalision for Liberation). Di tambah dengan Dewan Adat Papua dan Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu. Untuk menjaga kesatuan ini kami membentuk Sekretariat bersama. Tuhan berkati rakyat Papua dan perjuangannya.