Selasa, 10 Agustus 2010

pejabat INDONESIA telah mencoba menghentikan sebuah kuliah umum di Melbourne malam ini untuk membahas bermasalah provinsi Papua Barat.

pejabat INDONESIA telah mencoba menghentikan sebuah kuliah umum di Melbourne malam ini untuk membahas bermasalah provinsi Papua Barat.

Dalam gema dari tekanan yang dibawa oleh Cina tahun lalu membuang Melbourne pemutaran sebuah film tentang perjuangan separatis, seorang pejabat Indonesia minggu ini meminta cabang Victoria Australian Institute of International Affairs untuk membatalkan acara tersebut.

Pembicara di Papua Barat'''s Search for Self-Penentuan''akan mencakup Herman Wainggai - salah satu dari 43 orang Papua Barat diberikan suaka setelah melarikan diri dengan perahu ke Australia pada tahun 2006 - dan universitas Deakin Scott Burchill akademik, yang dilarang melakukan perjalanan ke Indonesia sama tahun.

AIIA wakil presiden Graham Barrett kata terakhir malam Papua Barat jelas sensitif bagi Indonesia tetapi kebijakan Institute adalah untuk menyajikan semua pandangan tanpa bantuan.
Jurubicara kedutaan Indonesia Eko Junor mengatakan pemberitahuan lebih mengecewakan dari acara itu tidak diberi sehingga duta besar Indonesia atau pejabat bisa hadir, untuk''memperkaya acara dengan sisi lain dari''perdebatan.

Mr Junor mengatakan permintaan untuk membatalkan acara ini kemungkinan besar kesalahpahaman.
Dr Burchill mengatakan Indonesia telah menekan negara-negara di Kepulauan Pasifik baru-baru ini Forum untuk menjaga Papua Barat dari agenda.

''Semakin sedikit Anda berbicara tentang hal ini, semakin Anda mencoba untuk memblokir, semakin intensif tekanan menjadi. Anda pikir mereka akan belajar bahwa dari pengalaman Timor Timur,''kata Dr Burchill

Acara ini akan diadakan malam ini di Dyason House di Timor Melbourne di 17:30.
Sumber: Umur

Minggu, 08 Agustus 2010

Front PEPERA: Otsus Gagal, Sebab Produk Negara Kapitalis

Front PEPERA: Otsus Gagal, Sebab Produk Negara Kapitalis
Minggu, 08 Agustus 2010 21:05
Front PEPERA: Otsus Gagal, Sebab Produk Negara Kapitalis
Dinamika pelaksanaan Otsus yang dinilai gagal Total oleh komponen gerakan perjuangan Politik Papua dengan mengembalikan otsus kepada pemerintah Pusat dan terakhir yang dilakukan massa Fordem yang difasilitasi MRP, dinilai sebagai tindakan yang objektif oleh Kelompok Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuagan Rakyat Papua Barat (Front PEPERA PB).

OLEH : Veny Mahuze

Front Papua Barat melalui Press Releasenya saat Jumpa Pers di Asrama Tunas Harapan Abepura, mengutarakan sejumlah fakta soal pelaksanaan Otsus Papua yang dinilai gagal total, sebab produk Otsus yang diberikan Pemerintah Indonesia yang disebut kado Politik, sarat dengan nuansa Politik Negara Kapitalis yang turut andil dalam memberikan dana Otsus untuk Papua, terang Selpius Bobii yang juga Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat.
Pelaksanaan Otsus yang dinilai gagal oleh kelompok ini mengacu pada fakta dan penilaian selama sebilan tahun berjalannya Otsus, belum dapat mengangkat derajat hidup orang Papua asli dari kemarjinalan Pembangunan, bahkan penduduk asli Papua cenderung terpinggirkan dalam mengelola Sumber Daya Alamnya .
Selpius yang didampingi seorang rekannya dari Front PEPERA Port Numbay dalam keterangannya di hadapan wartawan, menyatakan pernyataan tegas kelompok Front PEPERA yang menurutnya akan memberikan pencerahan kepada seluruh rakyat Papua, terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua tentang seuk beluk mengapa Otsus di berlakukan di Papua.

Menurutnya, rakyat di Papua perlu mendapatkan pendidikan Politik agar dicerahkan pandangannya tentang Otsus dan mengapa otsus diberlakukan dan gagal total untuk masyarakat pribumi Papua, hal pertama yang perlu diperhatikan oleh seluruh rakyat di Papua dan Pemerintah bahwa otsus yang dinilai dengan banyaknya uang oleh khalayak di Papua, sesungguhnya tidak akan memberikan kesejahteraan yang sesungguhnya sebab Produk Otsus adalah produk negara negara kapitalis yang selama ini membantu Indonesia dengan dana otsusnya yang dikucurkan ke Papua dan disebut gula gula Politik itu.
Namun pemerintah Indonesia dan Pemerintah di Papua dibisukan dan terjebak juga dalam Politik negara Kapitalis yang secara langsung telah mengambil keuntungan dari segala sember daya alam. Dikatakan, Pemerintah sebenarnya telah menjual seluruh Tanah Leluhur orang Papua dengan segala Sumber daya alamnya. Contoh konkrit dari hal ini kata Selpius dapat dilihat dari ramainya Investasi negara asing di Papua dengan dibukanya beribu ribu hektar hutan Papua untuk daerah konsesi dan perkebunan kelapa sawit, adanya kawasan pertambangan yang sesungguhnya milik negara investor dan Merauke MIFE dimana sejumlah hektar lahan disana telah dijual kepada negara Investor yang adalah negara kapitalis dan Pemerintah Indonesia telah menjual dan mengadai seluruh daratan tanah papua kepada investor tanpa masyarakat Pribumi Papua ketahui.
Menurut dia, Pendidikan Politik bukan hanya diberikan kepada rakyat Papua saja, melainkan Pemerintah Indonesia juga harus memahami bahwa dengan mengadaikan seluruh Tanah leluhur Papua yang dibayar dengan dana Otsus, sesungguhnya Pemerintah Indonesia telah masuk dalam sebuah rekayasa dari kaum kapitalis, dimana Pemerinah Indonesia hanya menerima begitu saja produk negara kapitalis yakni Otsus untuk Papua, agar Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya dihadapan negara kapitalis dunia agar tidak kehilangan muka, namun sebenarnya salah besar, kata dia.
Selama produk Negara Kapitalisnya, yakni Otsus terus diberlakukan, sampai kapanpun tidak akan mensejahterakan orang Papua, sebab Otsus adalah produk negara kapitalis yang hanya mencari keuntungan dengan menjarah seluruh kekayaan alam Papua untuk negara kapitalis sementara orang asli Papua tidak tersentuh oleh produk kapitalis Otsus itu, kalau memang otsus adalah murni produk Pemerintah Indonesia, tentu tidak akan menguntungkan pihak negara kapitalis, malah sebaliknya memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat Papua, setidaknya dapat dilihat dari wajah pendidikan di Papua dan derajat kesehaatan di papua.
Karena Produk Otsus milik negara kapitalis, maka negara Indonesiapun tidak dapat berbuat apa apa, justru menjual tanah Papua dan rakyat Papua sekarang telah berada diluar dari tanah leluhurnya, sadar atau tidak sadar itu sudah terjadi sebab uang tidak akan membangun Papua, “membangun Papua harus dengan hati” terangnya.
Kehadiran uang otsus membuat masyarakat dimanja dan berjiwa mental proyek serta menghindar kerja keras sebagai budaya papua yang sudah luntur.
Solusi yang mau ditawarkan terangnya, harus ada ruang yang dibuka untuk menjembati keterpurukan dan gagal totalnya Otsus, pihak ketiga sebagai pemyambung jembatan yang terputus sebagai bukti negara Demokrasi dan Pemerintah harus buat itu. **

Vanuatu untuk mencari status pengamat untuk Papua Barat di MSG dan PIF pemimpin puncak

Vanuatu Parlemen telah memutuskan untuk mendukung masyarakat adat Papua Barat hak penentuan nasib sendiri, yang ingin memiliki kemerdekaan dicatat dan diberikan status pengamat di Grup ujung tombak Melanesia dan Pasifik Island Forum pertemuan para pemimpin puncak.

Perdana Menteri Vanuatu telah berkomitmen diri untuk tabling proposal di Grup ujung tombak Melanesia (MSG) dan Pacific Island Forum (PIF) tahun ini puncak.

Sebagai tuan rumah KTT para pemimpin PIF tahun ini di Port Vila di bulan Agustus, Vanuatu berada pada posisi yang kuat - lebih daripada dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini biasa untuk Papua New Guinea untuk memajukan isu-isu di dalam MSG PIF kali lipat, terutama ketika Fiji adalah terasing dari bisnis PIF dan pertemuan. Tapi Vanuatu adalah mencari keuntungan dan jelas adalah posisi sebagai broker untuk kemerdekaan Papua Barat, pengakuan dari seberapa dekat budaya masyarakat Papua Barat adalah untuk orang-orang Vanuatu.

Bergerak di Vanuatu Parlemen minggu ini didukung oleh kedua Perdana Menteri yang Eduard Natape dan partainya dan para pemimpin oposisi Maxime Carlot Korman.

Gerakan bipartisan dihukum Vanuatu Parlemen setelah permohonan orang Vanuatu meminta kebijakan luar negeri yang jelas di Papua Barat. Petisi itu diajukan di Parlemen oleh anggota parlemen independen untuk Port Vila, Hon. Ralph Regenvanu.

Menurut laporan Vanuatu media dan pernyataan di suara (lihat di bawah), BLONG Wantok Yumi Bill menjadi batu loncatan untuk mengembangkan "kebijakan khusus tentang cara untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Papua Barat."

Akan Vanuatu Melanesia membujuk ujung tombak Group (MSG) negarawan, dan Perdana Menteri PNG, Sir Michael Somare untuk kembali bergerak untuk Papua Barat memiliki status pengamat? (Photo courtesy of Scoop.co.nz dan oleh Jason Dorday.)

Tetapi yang paling penting, Vanuatu Parlemen keinginan untuk orang-orang Papua Barat untuk mencapai status pengamat baik pada MSG dan PIF pemimpin rapat. Komitmen untuk mencari kesepakatan dari MSG lain dan PIF pemimpin nasional menyoroti diam banyak bangsa telah mengamati secara resmi dugaan sementara pembantaian dan imprisonments ilegal telah terjadi di Papua Barat, yang dilakukan oleh milisi Jakarta dikendalikan, polisi, dan pasukan elit militer Indonesia's Kopassus.

Vanuatu bergerak akan berlaku tekanan pada Papua New Guinea suara apakah atau tidak ini akan membantu mendukung Papua Barat yang mencari kemerdekaan dari kontrol Indonesia.

Indonesia adalah kehadiran kuat di kuartal barat di Asia Pasifik dan semua negara, termasuk Australia dan Timor Leste enggan untuk mengkritik kendali pemerintahan Indonesia atas wilayah Papua Barat, propinsi, dan sumber daya. Pemerintah Selandia Baru diminta minggu lalu oleh sebuah LSM untuk berbicara menentang dugaan kekejaman Indonesia di provinsi Papua Barat. Kontrol Papua Barat adalah kompleks, bahwa kompleksitas diperparah karena Papua Barat menjadi kaya mineral, dengan multi-nasional dan kepentingan Amerika Serikat di wilayah pertambangan, dan uang tunai royalti-kaya-sapi untuk Jakarta.

Laporan menyarankan anggota gerakan risiko Papua Barat penjara kemerdekaan hidup dan kematian jika mereka berbicara secara terbuka menentang kekuasaan Indonesia. Dan Pemerintah Indonesia di Jakarta telah melarang bendera Papua Barat, Pagi Matahari, yang terangkat.

Pendukung dari sebuah penjara risiko independen Papua Barat dan kematian hanya dengan menaikkan bendera Bintang Fajar. (Foto, PMC)

Laporan terakhir yang muncul dari sumber dalam Papua Barat berbicara intensifikasi kekerasan yang digunakan untuk mengendalikan penduduk sipil di Papua Barat. Account telah muncul selama seminggu terakhir menggambarkan penindasan luas, terutama ditujukan pada orang-orang yang bepergian, di mana mereka menjadi sasaran pencarian ketat di penghalang jalan dan di mana jam malam sedang diterapkan. Menembak, kekerasan, dan penahanan tanpa proses pengadilan tampaknya terjadi surut dan sebagian besar tidak dilaporkan.

Minggu ini, Vanuatu Parlemen secara khusus memerintahkan para pemimpinnya untuk:

1. Sponsor dan buang di Parlemen nasional secara resmi menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Vanuatu adalah untuk mendukung pencapaian kemerdekaan Papua Barat;

2. Sponsor resolusi di tahun 2010 Grup Melanesia ujung tombak pemimpin KTT bahwa gerakan kemerdekaan di Papua Barat diberikan Observer Status di MSG;

3. Sponsor resolusi di Pulau Pasifik 2010 Forum Leaders Summit bahwa gerakan kemerdekaan di Papua Barat diberikan Observer Status di Forum;

4. resolusi Sponsor untuk ujung tombak Melanesia Group Leaders Summit, Forum Kepulauan Pasifik Pemimpin Summit dan PBB menyerukan fakta misi dikirim oleh masing-masing badan ke Papua untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia itu populasi Melanesia;

5. Menjadi sponsor resmi negara kasus Papua Barat di Mahkamah Internasional mencari keputusan mengenai legalitas dari 1969 "Act of Free Choice";

6. Sponsor resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menempatkan Papua Barat kembali daftar PBB Non-Pemerintahan Sendiri Wilayah;

7. Buat Papua Barat Desk di Departemen Luar Negeri dengan anggaran yang memadai untuk memfasilitasi upaya advokasi internasional Pemerintah dalam mendukung kemerdekaan Papua Barat;

8. Ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Status Pengungsi, untuk memberikan Vanuatu dengan jalan untuk dukungan tambahan kepada orang-orang Papua Barat.

Perwakilan dari Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan, Dr John Otto Ondawame (Wakil Ketua) dan Mr Andy Ayamiseba (Vanuatu Misi) baik sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Parlemen dan rakyat Vanuatu atas dukungannya.

Selwyn Manning adalah co-editor Scoop Media (www.scoop.co.nz) dan editor bertindak Pasifik Scoop. Dia sedang menyelesaikan gelar Master Ilmu Komunikasi di Universitas Aut di Auckland.

Latar Belakang: Papua Barat Koalisi Nasional untuk Pembebasan pernyataan.

Sebuah Motion pada Kebijakan Luar Negeri mengenai Papua Barat telah diberikan di Parlemen Vanuatu.

Kemarin, pada tanggal 19 Juni 2010, selama Parlemen Extra duduk biasa, kepala Pemerintah, Hon. Perdana Menteri, Eduard Natape MP, dan pemimpin oposisi Hon. Maxime Carlot Korman MP bersama sponsor Motion di Parlemen untuk menyatakan kebijakan luar negeri Vanuatu menyangkut Papua Barat. Ini disahkan dengan dukungan bipartisan untuk menjadi Bill Parlemen. Langkah awal yang dilakukan oleh Anggota Independen untuk Port Vila, Hon. Ralph Regenvanu MP. Selama 31 Mei Hon sesi biasa. Regenvanu Permohonan diajukan atas nama Rakyat Permohonan [Vanuatu Rakyat Vanuatu] menyerukan kebijakan luar negeri yang jelas di West Papua. Ini adalah perkembangan yang signifikan dan memang satu bersejarah. Ini "Wantok BLONG Yumi" Bill akan memungkinkan pemerintah untuk mengembangkan kebijakan spesifik tentang cara untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Proposal berikut dari Petisi Rakyat 'bisa menjadi instrumen kebijakan RUU:

1. Sponsor dan buang di Parlemen nasional secara resmi menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Vanuatu adalah untuk mendukung pencapaian kemerdekaan Papua Barat;

2. Sponsor resolusi di tahun 2010 Grup Melanesia ujung tombak pemimpin KTT bahwa gerakan kemerdekaan di Papua Barat diberikan Observer Status di MSG;

3. Sponsor resolusi di Pulau Pasifik 2010 Forum Leaders Summit bahwa gerakan kemerdekaan di Papua Barat diberikan Observer Status di Forum;

4. resolusi Sponsor untuk ujung tombak Melanesia Group Leaders Summit, Forum Kepulauan Pasifik Pemimpin Summit dan PBB menyerukan fakta misi dikirim oleh masing-masing badan ke Papua untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia itu populasi Melanesia;

5. Menjadi sponsor resmi negara kasus Papua Barat di Mahkamah Internasional mencari keputusan mengenai legalitas dari 1969 "Act of Free Choice";

6. Sponsor resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menempatkan Papua Barat kembali daftar PBB Non-Pemerintahan Sendiri Wilayah;

7. Buat Papua Barat Desk di Departemen Luar Negeri dengan anggaran yang memadai untuk memfasilitasi upaya advokasi internasional Pemerintah dalam mendukung kemerdekaan Papua Barat;

8. Ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Status Pengungsi, untuk memberikan Vanuatu dengan jalan untuk dukungan tambahan kepada orang-orang Papua Barat.

Dalam sambutannya, menanggapi dukungan bipartisan untuk Motion Perdana Menteri, Hon. Edward Natape MP berjanji bahwa ia akan mensponsori masalah Papua Barat untuk MSG dan PIF pertemuan. Dia akan mengusulkan agar gerakan independen dari Papua Barat diberikan Observer Status dengan kedua badan-badan regional. Yang Mulia Perdana Menteri juga menyatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan untuk mengajukan Papua Barat akan kembali mencatatkan dengan Komite Dekolonisasi PBB agar Wilayah yang akan diberikan melalui proses Dekolonisasi.

Perwakilan dari Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan, Dr John Otto Ondawame (Wakil Ketua) dan Mr Andy Ayamiseba (Vanuatu Misi) sangat berterima kasih kepada pemerintah, oposisi dan orang-orang Vanuatu untuk melakukan ini sangat bersejarah pada masalah panggilan kebijakan luar negeri yang jelas dari Pemerintah Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat. Kami juga mengucapkan terima kasih khusus kami sampaikan kepada semua anggota Vanuatu Free West Papua Association atas dukungan tanpa henti mereka dalam tujuh tahun terakhir mendesak Pemerintah Vanuatu untuk menyatakan kebijakan yang jelas asing terhadap kemerdekaan Papua Barat, yang panggilan itu berakhir dengan sukses cerita nduring sesi Extra Parlementer Biasa tanggal 19 Juni 2010 di Port Vila.

Vanuatu untuk mencari status pengamat untuk Papua Barat di MSG dan PIF pemimpin puncak


Vanuatu’s Parliament has voted to support West Papua’s indigenous peoples right to self determination, seeking to have its independence noted and observer status granted at the Melanesian Spearhead Group and Pacific Island Forum leaders summit meeting.

Vanuatu’s prime minister has committed himself to tabling the proposal at Melanesian Spearhead Group (MSG) and Pacific Island Forum (PIF) summits this year.

As host to this year’s PIF leaders summit in Port Vila in August, Vanuatu is in a powerful position – more so than in recent years. It is usual for Papua New Guinea to advance MSG issues inside the PIF-fold, especially while Fiji is estranged from PIF business and meetings. But Vanuatu is seeking an advantage and clearly is positioning as a broker for West Papua independence, recognition of how close culturally West Papua’s peoples are to those of Vanuatu.

The move in Vanuatu’s Parliament was supported this week by both its Prime Minister Eduard Natape and his party and that of the opposition leader Maxime Carlot Korman.

The bipartisan motion was put to Vanuatu’s Parliament after a petition of the people of Vanuatu called for a clear foreign policy on West Papua. The petition was tabled in the Parliament by independent MP for Port Vila, Hon. Ralph Regenvanu.

According to Vanuatu media reports and a statement on the vote (see below), the Wantok Blong Yumi Bill paves the way for developing “specific policies on how to support the independence struggle of West Papua.”

Will Vanuatu persuade Melanesian Spearhead Group (MSG) statesman, and Prime Minister of PNG, Sir Michael Somare to back a move for West Papua to have observer status? (Photo courtesy of Scoop.co.nz and by Jason Dorday.)

But most significantly, Vanuatu’s Parliament wishes for West Papua’s people to achieve observer status at both the MSG and PIF leaders meetings. The commitment to seek agreement from other MSG and PIF national leaders highlights the silence many nations have observed officially while alleged slaughter and illegal imprisonments have taken place inside West Papua, committed by Jakarta controlled militia, police, and Indonesia’s elite military commandos the Kopassus.

Vanuatu’s move will apply pressure on Papua New Guinea to voice whether or not it will help support West Papuans who seek independence from Indonesian control.

Indonesia is a powerful presence in the Asia Pacific’s western quarter and all countries, including Australia and Timor Leste are reticent to criticise Indonesia’s governing control over West Papua territory, provinces, and resources. The New Zealand Government was asked last week by an NGO to speak out against alleged Indonesia atrocities inside West Papua’s provinces. The control of West Papua is complex, that complexity compounded due to West Papua being mineral-rich, with multi-national and United States mining interests in the territory, and a royalty-rich cash-cow for Jakarta.

Reports suggest members of West Papua’s independence movement risk life imprisonment and death if they publicly speak out against Indonesian control. And Indonesia’s Government in Jakarta has outlawed the West Papuan flag, the Morning Sun, being raised.

Supporters of an independent West Papua risk imprisonment and death simply by raising the Morning Star flag. (Photo, PMC)

Recent reports emerging from sources inside West Papua speak of intensifying violence being used to control the civilian population in West Papua. Accounts have emerged over the last week describing widespread oppression, particularly targeted at those who are travelling, where they are subjected to strict searches at roadblocks and where curfews are being enforced. Shooting, violence, and detainment without trial appears to be going on unabated and largely unreported.

This week, Vanuatu’s Parliament specifically ordered its leaders to:

1. Sponsor and pass a motion in national Parliament officially declaring that Vanuatu’s foreign policy is to support the achievement of the independence of West Papua;

2. Sponsor a resolution at the 2010 Melanesian Spearhead Group’s Leaders Summit that the independence movement in West Papua be given Observer Status at the MSG;

3. Sponsor a resolution at the 2010 Pacific Island Forum Leaders Summit that the independence movement in West Papua be given Observer Status at the Forum;

4. Sponsor resolutions to the Melanesian Spearhead Group’s Leaders Summit, the Pacific Islands Forum Leaders Summit and the United Nations calling for fact-finding missions be sent by each of these bodies to West Papua to investigate alleged violations of the human rights of it’s Melanesian populations;

5. Become the official state sponsor of the case of West Papua in the International Court of Justice seeking a judgment on the legality of the 1969 “Act of Free Choice”;

6. Sponsor a resolution in the United Nations to put West Papua back on the United Nations’ list of Non-Self-Governing Territories;

7. Create a West Papua Desk in the Department of Foreign Affairs with a budget sufficient to facilitate the Government’s international advocacy efforts in support of West Papua’s independence;

8. Ratify the United Nations Convention Relating to the Status of Refugees, to provide Vanuatu with an avenue for additional support to the people of West Papua.

Representatives from the West Papua National Coalition for Liberation, Dr. John Otto Ondawame (Vice Chairman) and Mr. Andy Ayamiseba (Vanuatu Mission) both formerly thanked the Parliament and people of Vanuatu for the support.

Selwyn Manning is co-editor of Scoop Media (www.scoop.co.nz) and acting editor of Pacific Scoop. He is completing a Master of Communication Studies degree at AUT University in Auckland.

Background: West Papua National Coalition for Liberation statement.

A Motion on Foreign Policy regarding West Papua had been passed in the Vanuatu Parliament.

Yesterday, on 19th of June 2010, during the Parliament Extra ordinary sitting, the head of the Government, Hon. Prime Minister, Eduard Natape MP, and the leader of the Opposition Hon. Maxime Carlot Korman MP jointly sponsor a Motion in Parliament to declare Vanuatu’s Foreign policy regarding West Papua. It was passed with bipartisan support to become a Bill of Parliament. The initial move was made by Independent Member for Port Vila, Hon. Ralph Regenvanu MP. During the 31st of May ordinary session Hon. Regenvanu tabled a Petition on behalf of the People of Vanuatu [Petition of the People of Vanuatu] calling for clear foreign policy on West Papua. This is a significant development and indeed a historic one. This “Wantok blong yumi” Bill will allow the government to develop specific policies on how to support the independence struggle of West Papua. The following proposals from the Peoples’ Petition could become policy instruments of the Bill:

1. Sponsor and pass a motion in national Parliament officially declaring that Vanuatu’s foreign policy is to support the achievement of the independence of West Papua;

2. Sponsor a resolution at the 2010 Melanesian Spearhead Group’s Leaders Summit that the independence movement in West Papua be given Observer Status at the MSG;

3. Sponsor a resolution at the 2010 Pacific Island Forum Leaders Summit that the independence movement in West Papua be given Observer Status at the Forum;

4. Sponsor resolutions to the Melanesian Spearhead Group’s Leaders Summit, the Pacific Islands Forum Leaders Summit and the United Nations calling for fact-finding missions be sent by each of these bodies to West Papua to investigate alleged violations of the human rights of it’s Melanesian populations;

5. Become the official state sponsor of the case of West Papua in the International Court of Justice seeking a judgment on the legality of the 1969 “Act of Free Choice”;

6. Sponsor a resolution in the United Nations to put West Papua back on the United Nations’ list of Non-Self-Governing Territories;

7. Create a West Papua Desk in the Department of Foreign Affairs with a budget sufficient to facilitate the Government’s international advocacy efforts in support of West Papua’s independence;

8. Ratify the United Nations Convention Relating to the Status of Refugees, to provide Vanuatu with an avenue for additional support to the people of West Papua.

In his address, responding to the bipartisan support for the Motion the Prime Minister, Hon. Edward Natape MP promised that he will sponsor the issue of West Papua to MSG and PIF-meetings. He will propose that the independent movement of West Papua be granted Observer Status with these two regional bodies. The Honorable Prime Minister also stated that his government will proceed to apply for West Papua to be relisted with the UN Decolonization Committee in order for the Territory to be given the due process of Decolonization.

Representatives from the West Papua National Coalition for Liberation, Dr. John Otto Ondawame (Vice Chairman) and Mr. Andy Ayamiseba (Vanuatu Mission) were very grateful to the government, the opposition and the people of Vanuatu for this very historic undertaking on the issue calling a clear foreign policy of the Government of Vanuatu in supporting the independence of West Papua. We also express our special thank goes to all members of the Vanuatu Free West Papua Association for their endless support in the past seven years urging the Government of Vanuatu to declare its clear foreign policy on independence of West Papua, which calls were ended with a successful story nduring the Extra Ordinary Parliamentary session on 19th June 2010 in Port Vila.

Rabu, 04 Agustus 2010

Obama Diminta Temui Rakyat Papua


Selasa, 03/08/2010 - 12:01

WASHINGTON,D.C. (PRLM).-Lima puluh orang anggota Kongres Amerika mendesak Presiden Barack Obama untuk menyatakan Indonesia bertanggung-jawab terhadap aksi genocide (pembunuhan etnik) di Papua.

Seperti dikutip Radio Australia, Selasa (3/8), mereka mengirimkan surat kepada Presiden Obama dan menyampaikan sejumlah indikasi kuat bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan genocide terhadap rakyat Papua. Di samping itu, mereka menyerukan agar Presiden Obama bertemu dengan rakyat Papua dalam kunjungannya ke Indonesia November nanti.

Sementara itu Indonesia mengatakan akan mengevaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Papua ditengah tuntutan yang semakin nyaring bagi referendum penentuan nasib sendiri.

Pejabat Depdagri, Sumarsono, mengatakan, evaluasi yang diusulkan itu akan mencakup antara lain implementasi administrasi daerah dan akuntabilitas.(A-133/kur)***

DPRP Didesak Gelar Sidang Istimewa


DPRP Didesak Gelar Sidang Istimewa
Menyikapi Aspirasi Penolakan Otsus

JAYAPURA—Pemerintah pusat dinilai lambat menanggapi tuntutan aspirasi penolakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang berkali kali disampaikan massa MRP kepada DPRP. Terkait dengan itu, DPRP didesak segera mengelar sidang istimewa guna mengakomodir tuntutan referendum ulang bagi rakyat Papua pada tahun 2010 dan peralihan negara RI kepada Negara Republik Papua Barat tanpa syarat dalam pengawasan Dewan Keamanan PBB pada tahun 2010, serta membentuk Tim 10 guna menyampaikan aspirasi referendum Papua Barat untuk tatap muka bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Demikian Siaran Pers yang disampaikan Forum Rekonsiliasi Para Pejuang Republik Papua Barat Merdeka Politikal Tapol-Napol/OPM-TPN/RWP ditandatangani Filep Karma, Buchtar Tabuni (Penanggungjawab) serta Juru Bicara Saul J Bomay yang diterima Bintang Papua di Jayapura, Selasa (3/8).
Forum Rekonsiliasi Para Pejuang Republik Papua Barat Eks Tapol-Napol/OPM-TPN RWP juga menyampaikan sikap politik antara lain. Pertama, prinsip perjuangan bangsa Papua untuk memisahkan diri dari NKRI mempunyai jaminan hukum yakni deklarasi PBB tentang hak penduduk asli (masyarakat pribumi) adalah sebuah deklarasi yang disahkan Majellis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB) dalam sidang ke-61 di Markas Besar PBB di News York 13 September 2007.

Deklarasi ini menggariskan hak individu dan kolektif para penduduk (pribumi) dan juga hak mereka terhadap budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan isu isu lainnya. Deklarasi ini juga menekankan hak mereka untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi dan hak mereka akan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka.
Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka serta hak mereka untuk tetap berada dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri.
Kedua, piagam MU PBB pasal 15 dan 14 tanggal 14 Desember 1960-an mengenai jaminan dan pemberian dan kemerdekaan kemerdekaan kepada rakyat wilayah wilayah jajahan atau penghapusan dekolonisasi dunia.
Ketiga, pembukaan UUD 1945 alinea pertama bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa ….oleh sebab itu maka bangsa Papua mempunyai hak hak untuk menentukan nasib sendiri/merdeka dan berdaulat penuh diatas tanahnya sendiri.
Keempat, pada prinsip bangsa Papua sudah menolak Otsus pada 28 Maret 2001 serta sudah kembalikan Otsus pada tanggal 12 Agustus 2005 dan itu sudah final secara hukum dan kini hal yang sama lagi kita kembalikan Otsus untuk kedua kalinya kepada DPRP sesuai dengan sidang paripurna MRP sudah dikembalikan pada 18 Juni 2010.
Kelima, suara korban Daerah Operasi Militer (DOM) TNI/Polri di Papua mendesak kepada elite lit politik yang berstatus orang Irian (bukan bangsa Papua) yang terlibat dalam tim penyusun Draf Otsus agar segera mengakui kegagalan Otsus dan berani mencabut pelaksanaan nya di Papua sebagai bentuk pertanggungjawaban atas semua permasalahan yang berdampak pada kegagalan implementasi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus secara menyeluruh di Tanah Papua sebagai suatu wujud pertanggungjawaban moral dan politik terhadap bangsa Papua.
Keenam, satu pertanyaan untuk DPRP dan Gubernur Papua untuk menjawab apakah Otsus pertama hasil penolakan 28 Maret 2001 dan pengembalian Otsus 12 Agustus 2005 serta pengembalian yang kedua 18 Juni 2010 apakah sudah ada jawaban dari pemerintah pusat.
Ketujuh, apabila belum ada jawaban dari pemerintah pusat maka kami rakyat bangsa Papua mendeak kepada DPRP, Gubernur Papua dan Papua Barat segera mengadakan sidang istimewa DPRP untuk mengakomodir tuntutan referendum ulang bagi rakyat Papua pada tahun 2010 ini juga DPRP dan Gubernur Papua bersifat memfasilitasi pembentukan Tim 10 yang independen untuk membawa agenda aspirasi referendum Papua Barat untuk tatap muka bersama Presiden dan kabinetnya di Jakarta.
Kedelapan, penolakan SK No 14 Tahun 2010 oleh bangsa Indonesia melalui Mendagri tak mungkin menutup mata RI. Karena bangsa Papua melihat UU No 21 Tahun 2001 yang kami lihat sebagai produk hukum eligal mengingat penolakan rakyat Papua Barat terhadap UU tersebut pada 28 Maret 2001 dan pengembalian Otsus kepada negara 12 Agustus 2005 sudah final. Otsus sebagai kebijakan paksaan RI dari tahun 2010 telah gagal total. (mdc)

Selasa, 03 Agustus 2010

Referendum, Solusi Murni Aspirasi Rakyat Papua !


JUBI --- Penyandaraan diri setiap kali pada identitas pribadi merupakan dasar perjuangan, sebagai akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme di Indonesia termasuk Tanah Papua.
Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat, penindasan yang brutal dan adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas. Faktor lainnya adalah membanjirnya informasi yang masuk tentang Sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Namun Benny Giay menggambarkannya sebagai sejarah sunyi Orang Papua karena tidak semua negara mau mendengar. Terkecuali ketika berbicara tambang dan sumber daya alam. PT Freeport Indonesia adalah salah satu kekuatan investasi yang menancapkan kekuatannya di Tanah Papua sebelum pelaksanaan referendum atau dalam versi Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Kontrak Karya PT FI dilakukan pada 1967 atau dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA di atas tanah yang disengketakan antara Indonesia dan Belanda.
Walau demikian kesadaran untuk berjuang tak lepas dari tindakan Warga Papua untuk mentransformasikan realitas sehari-hari Orang Papua. Mengutip Paulo Freire pakar pendidikan asal Brasilia yang m menulis “semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.” Kesadaran untuk mencari identitas sesuai dengan Universal Declaration on Human Right. Karena itu kemerdekaan adalah hak berdasarkan Deklarasi Universal HAM yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan. Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka.
International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (a state can include several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination , yaitu external right to self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki Negara Papua Barat di luar negara Indonesia. Hak eksternal penentuan nasib sendiri atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1).
Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik. Pakar antropolog membagikannya ke dalam dua kelompok Melanesia dan Papua.
Perbedaan etnik maupun ras dapat menjadi salah satu gagasan untuk kembali mengatur langkah ke depan bagi suatu bangsa. Agaknya peluang ini dapat digunakan sebagai gagasan untuk menentukan nasib sendiri. Apalagi negara Vanuatu di Pasifik Selatan membuka pintu bagi perjuangan Papua Barat. Vanuatu juga memberikan kursi bagi Papua Barat dalam pertemuan Melanesia Brotherhood di Pasifik Selatan.
Namun yang jelas rasa kebangsaan dan nasionalisme bisa dibangun kalau ada perasaan senasib dan sama-sama menderita. Cilakanya selama di Papua Barat belum merasa sama-sama menderita dan satu kata untuk menentukan nasib sendiri. Maka perlu dibangun solidaritas agar jangan sampai salah arah dan tidak tepat sasaran.
UU Otsus yang selama ini dianggap sebagai sasaran antara untuk menjembatani perasaan senasib dan sepenanggungan sangat jauh dari harapan banyak Orang Papua. Tuntutan referendum adalah aspirasi murni dari Rakyat Papua yang selalu hidup dalam penindasan dan masih merasa sebagai bangsa yang terjajah di atas tanah sendiri.
Terlepas dari perkembangan sejarah masa lalu hingga saat ini. Tampaknya tuntutan referendum sudah pasti akan terus “dinyanyikan” Rakyat Papua kepada dunia, bahwa keinginan menentukan nasib sendiri adalah murni isi hati Rakyat Papua dan bukan keinginan segelintir orang.
Hal ini terangkat kembali pada 18 Juni 2010 dimana seluruh Rakyat Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) menyampaikan aspirasi referendum bagi masa depan Papua kepada DPRP.
Masalah mendasar dan subtansi dari tuntutan Rakyat Papua adalah ketika Otonomi Khusus (Otsus) Tahun 2001 bagi Povinsi Papua diberikan Pemerintah Pusat sebagai jawaban pengganti atas aspirasi Papua merdeka. Sayangnya sasaran antara melalui UU Otsus tak memberikan banyak harapan dan nada optimis muncul dengan keyakinan bahwa “gula-gula” Otsus akan membawa perubahan bagi Rakyat Papua. Sebaliknya “gula-gula” ini hanya enak didengar tanpa ada terwujud nyata dalam hidup sehari-hari Masyarakat Asli Papua. Tidak ada keberpihakan yang sifatnya memproteksi, memberdayakan dan menerapkan afirmatif terhadap hak-hak dasar Masyarakat Asli Papua.
Kebijakan yang bersifat affimative action seringkali berbenturan dengan pemerintah di Jakarta. “Ibarat berbenturan dengan tembok,“ tutur Agus Alua. Atau Benny Giay sedikit sinis menegaskan mengharapkan UU Otsus dan affirmative action sama saja dengan merebus batu.
UU Otsus sudah berjalan hampir 10 (sepuluh) tahun, namun tetap saja Rakyat Papua tidak merasakan manfaat dan dampak kemajuan dari kebijakan ini. Oleh karena itu mestinya Pemerintah Indonesia lebih jeli melihat persoalan tersebut dan bukannya membiarkan Rakyat Papua berkelahi dengan dirinya sendiri akibat berbagai aturan yang diberikan tidak berjalan baik sesuai amanatnya. Padahal nyata-nyata di dalam UU Otsus harus berpihak dan melindungi keberadaan Orang Asli Papua.
Menyikapi kegagalan Otsus, maka MRP bersama Masyarakat Adat Papua (MAP) serta kelompok elemen Masyarakat Papua lainnya melakukan musyawarah pada Tanggal 9–10 Juni 2010 lalu, dimana menghasilkan 11 rekomendasi yang selanjutnya diserahkan kepada kepada Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintah Daerah dan DPRP.
Dalam dua hari kegiatan Musyawarah MRP dan Masyarakat Adat Papua yang datang dari tujuh wilayah adat di seluruh Tanah Papua, telah mengambil suatu keputusan bersama tentang situasi politik di Tanah Papua dan keberadaan Otsus Papua yang dianggap gagal dan seluruh peserta Musyawarah dan komponen politik yang hadir menyerukan kepada MRP dan DPRP segera mengembalikan Otsus ke pusat. Acara Musyawarah yang sempat memanas tersebut lebih banyak berkutat pada penyelesaian masalah politik di Tanah Papua.
Agus Alua dalam keterangannya menyatakan, semua peserta Mubes sepakat untuk kembalikan Otsus dan referendum solusi untuk menjawab semua permasalahan politik di Tanah Papua. “Ini aspirasi murni rakyat dan MRP akan memfasilitasi aspirasi mereka,” tutur Alua. Aspirasi masyarakat juga meminta pelaksanaan referendum ini difasilitasi oleh dunia Internasional. Poin penting lain adalah segera menutup aktivitas penambangan PT. Freeport Indonesia di Bumi Amungsa.
Tuntutan ini sudah berada di tangan DPRP, sebabnya Rakyat Papua akan menunggu wakil-wakil Rakyat Papua untuk menindaklanjuti secara baik. Rakyat Papua akan menagih janji pada 8 Juli 2010 mendatang

Rakyat Papua Segera Bentuk Pemerintahan Transisi

JUBI --- West Papua National Autority (WPNA) meminta Dewan Adat Papua membentuk pemerintahan transisi di Papua.

Alberth Israel Yoku, president WPNA menegaskan, rakyat Papua juga jangan hanya meneriakkan Referendum dan Otonomi Khusus namun tidak menyiapkan pemerintahan transisi.

Menurutnya, pemerintahan transisi sudah harus diserahkan ke PBB untuk memberitahukan bahwa Papua sudah merdeka.

“Masyarakat diharapkan tidak terlalu repot menuntut dua hal yakni otsus dan referendum. Karena warga Papua Barat sudah merdeka sejak tahun 1961,” ujarnya, Senin. (Musa

dari tahun ke tahun pemerintah pusat cairkan dana sekian milyar tapi nak-anak ini tidak mendaptkan perhatian dsari pemerintah propinsi papua ..dan inlah kenyataan gambar.. tepatnya di langda una-ukam .....

Act of Free Choice RESTORE TO THE UNITED NATIONS (UN)


Although already stated Sentani-finals, but the presence of (PEPERA) Determination of the People's Opinion, still continue to 'sued'.
Results Act of Free Choice on 2-14 August 1969 was considered final after the nation of Papua has made floating through the State formed the Dutch West Papua on 1 Mey 1969.
Unfortunately that has been deemed a final decision was for some political leaders of Papua is considered controversial, because of heavy intervention and intimidation Indonesia and America. Pressure-related political pressure disabilities law continues to reverberate up on Monday (2 / 8) yesterday openly political parts of Papua, the Papuan Customary Council (DAP), KNPB, ICLWP, West Papua National Autority (WPNA), detainees Prisoners , and some residents of Papua who are in the Sentani ceremonial return to the New York Act of Free Choice and Decision Agrimen to the United Nations marked the burning of a coffin symbolizing the Act of Free Choice and the New York Agrimen field Theys H Eluay tomb.

The event was attended by several political frontman Papua namely DAP Chairman, Forkorus Yaboisembut, Chairman WPNA Terianus Yaku, Saul Bomay Tapol detainees, and some of frontman KNPB and ICLWP. From Watchlist Papua New Star in the field can be seen escorting Papua Guard troops (Hermit) is quite tight, and even some mass media that tried to enter the area filtered by Hermit.
Tail only some of the media are allowed to enter, while others were forced outside of the field. Chairman of the Papua Customary Council Forkorus Yaboisembut S. Pd to Papua New Star said yesterday, the activities are done as a symbolic form of the return assessed PEPERA legally flawed.
According Forkorus these activities are not only conducted in Papua, but simultaneously, including outside Indonesia ie in Vanuatu, the United Kingdom, and Australia yesterday. Forkorus continued that the warning was actually about to return PEPERA taken directly to the Big Keduatan U.S. to Indonesia, but due to the Office of the U.S. Embassy in Jakarta, so it only sends the symbol of the return through the virtual world, in this case the mass media, and sites that webside Papuans are used to channel the political developments in Papua to the international world.
"Sebenanrnya we want to return this PEPERA memalui U.S. Embassy office in Jakarta but since we send it through the virtual world," he said. Forkorus also recognizes that these activities have come to Vanuatu, England and America, after his crosscheck to do there.
While follow-up of the Act of Free Choice and New York returns to the United Nations, according to Agrimen Forkorus side would ask for a referendum or annexation of absolute sovereignty on 1 Mey 1963 through PBBB general assembly which will take place at 3 to 6 September 2010.
Questioning the meaning of such coffin burning, Forkorus say that it is the realization that Pepepra is dead, because the Act of Free Choice is part of Volume I of the Special Autonomy annexation program as well as on special autonomy in 2001 and vol II. "Papuan political issues will be exhaled at the UN General Assembly in the material or whether the lawsuit in the International Mahkama given sovereignty, in full," said Forkorus again.
Forkorus also said that political issues related disability Papua Act of Free Choice has received full support from Prime Minister (Unted Kingdom) New England that David Cameroon that must be fought to the General Session. Forkorus therefore appealed to the Government of Indonesia in order not to deceive the public, because the problem is already a problem in Papua International.
And the struggle for Papua is peaceful struggle, which must be completed in a manner that is safe and peaceful, not like such as in Timor Laste. The occasion was also given the mandate Forkorus orally by a number of Papuan political component to immediately conduct Papua Congress III.
Sementaraq's security by the Police Board is also quite strict with the involvement of Papua Bromobda BKO one platoon, 2nd platoon Dirmapta Polda Papua, and some police personnel Jayapura. Jayapura Police Chief Matthew Fakhiri AKBP SIK told reporters yesterday said that the activity has obtained a license from the Polda Papua so that it only securing a smooth traffic flow and monitor activities so that they are not sullied by the actions relating to criminal practice.
Foreign Journalists
Meanwhile, at the end of free speech activity, the slightly tarnished by the action of chase each other between the officer and some members KNPB. Action chase each other the tails of the officers who tried to secure one of the foreign citizen will look to capture the event. We will secure a group of young Army camouflage uniform numbering five people directly pursuing officers, so that foreign men are not secure, even chase it down to the hotel which is thought to be united inn foreign residents. In the hotel manunggalpun foreigners are protected period, so an officer can still pocketed their credentials in detail.
One member of the Jayapura Police Satreskrim Briptu Aris suffered lacerations on the right arm. While officers are also directly securing one of the boys had the initials ES. The man who claimed to have just completed their studies in senior high school on June yesterday was immediately escorted to the police Mako perbutannya Jayapura to account for it.
Jayapura Police Chief Matthew Fakhiri AKBP ICS said that his party actually waited for the frontman to be held accountable KNPB one of his colleagues were unfortunately all of them suddenly disappear, without mempediulikannya. Nemun according to the relevant police chief since the age of the student to follow-up process will also be considered.
Meanwhile, foreign nationals according to immortalize the moment police chief being investigated by officers who allegedly stayed in a hotel while Manunggal Sentani, related goals coming to Indonesia, including Papua. 'We still investigate, identity, and purpose of his coming,' police chief explained.
Again a counter statement in fact came from the Chairman of DAP Forkorus Yaboisembut which confirms that the real political problems of Papua's not a secret anymore and this is already on the official websites of the world famous, so whoever he is intent on capturing moments both Indonesian citizens or not is not needs to argue anymore. Especially for one member who was arrested KNPB Forkorus hope that the police can release, because there is no any criminal elements that could ensnare him.

Senin, 02 Agustus 2010

PEPERA DIKEMBALIKAN KEPADA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB), AMERIKA SERIKAT


SENTANI—Meski sudah dinyatakan final, namun keberadaan (Pepera) Penentuan Pendapat Rakyat, masih saja terus ‘digugat’.
Hasil Pepera pada 2-14 Agustus 1969 itu dianggap telah final setelah bangsa Papua dibuat mengambang melalui Negara West Papua yang dibentuk Belanda pada 1 Mey 1969.
Sayangnya Keputusan yang telah dianggap final itu bagi sebagian tokoh politis Papua dianggap kontraversial, karena sarat intervensi dan intimidasi Indonesia dan Amerika. Desakan-desakan politis terkait cacat hukum tersebut terus berkumandang hingga pada Senin (2/8) kemarin secara terang-terangan beberapa komponen politik Papua, yakni Dewan Adat Papua (DAP), KNPB, ICLWP, West Papua National Autority (WPNA), Tapol Napol, dan beberapa warga Papua yang berada di Sentani melakukan seremonial pengembalian Pepera dan Keputusan New York Agrimen kepada PBB yang ditandai pembakaran sebuah peti mati yang menyimbolkan Pepera dan New York Agrimen di lapangan makam Theys H Eluay.

Kegiatan tersebut dihadiri beberapa pentolan politis Papua yakni Ketua DAP, Forkorus Yaboisembut, Ketua WPNA Terianus Yaku, Tapol Napol Saul Bomay, serta beberapa pentolan KNPB dan ICLWP. Dari Pantauan Bintang Papua di lapangan tersebut terlihat pengawalan pasukan Penjaga Tanah Papua (Petapa) cukup ketat, bahkan beberapa media masa yang mencoba memasuki areal tersebut difiltrasi oleh Petapa.
Buntutnya hanya beberapa media saja yang diijinkan masuk, sementara lainnya terpaksa berada di luar lapangan tersebut. Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd kepada Bintang Papua kemarin mengatakan, kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk simbolis pengembalian Pepera yang dinilai cacat hukum.
Menurut Forkorus kegiatan tersebut bukan hanya dilakukan di Papua saja, tetapi serentak, termasuk di luar Indonesia yakni di Vanuatu, Inggris, dan Australia kemarin. Forkorus melanjutkan bahwa peringatan pengembalian Pepera ini sebenarnya hendak diantar langsung ke Keduatan Besar AS untuk Indonesia, namun karena Kantor Kedubes AS tersebut berada di Jakarta sehingga pihaknya hanya mengirimkan symbol pengembalian tersebut melalui DUNIA MAYA, dalam hal ini media massa, dan situs-situs webside yang dipergunakan rakyat Papua menyalurkan perkembangan politik di tanah Papua ke dunia Internasional.
“Sebenanrnya kita mau kembalikan Pepera ini memalui Kedubes AS tapi berhubung kantornya di Jakarta ya kita kirim lewat dunia maya,” ujarnya. Forkorus juga mengakui bahwa kegiatan tersebut telah sampai ke Vanuatu, Inggris dan Amerika, setelah dirinya melakukan crosscheck ke sana.
Sementara tindak lanjut dari pengembalian Pepera dan New York Agrimen kepada PBB itu menurut Forkorus pihaknya akan meminta referendum ataupun Kedaulatan mutlak yang dianeksasi pada 1 Mey 1963 melalui sidang umum PBBB yang akan berlangsung pada 3-6 September 2010 mendatang.
Menyoal tentang makna pembakaran peti mati tersebut, Forkorus mengatakan bahwa hal itu merupakan wujud bahwa Pepepra sudah mati, karena pepera merupakan bagian Otsus Jilid I dari program aneksasi begitu juga dengan Otsus jilid II pada 2001 lalu. “masalah politis Papua akan dihembuskan pada Sidang Umum PBB dalam materi gugatan di Mahkama International ataukah diberikan kedaulatan, secara penuh,” ujar Forkorus lagi.
Forkorus juga mengatakan bahwa masalah politis Papua terkait cacatnya Pepera telah mendapat dukungan penuh dari Perdana menteri (Unted Kingdom) Inggris yang baru yakni David Kamerun yang harus diperjuangkan ke Sidang Umum MPR. Oleh sebab itu Forkorus menghimbau kepada Pemerintah Indonesia agar tidak membohongi masyarakat, karena masalah Papua sudah merupakan masalah Internasional.
Dan perjuangan Papua merupakan perjuangan penuh damai, yang harus dituntaskan dengan cara-cara yang aman dan damai, tidak layaknya seperti di Timor Laste. Dalam kesempatan tersebut Forkorus juga diberi mandat secara lisan oleh sejumlah komponen politis Papua itu untuk segera melakukan Kongres Papua III.
Sementaraq itu pengamanan yang dilakukan oleh Jajaran Kepolisian juga terbilang cukup ketat dengan melibatkan BKO 1 pleton Bromobda Papua, 2 pleton Dirmapta Polda Papua, dan beberapa personil Polres Jayapura. Kapolres Jayapura AKBP Mathius Fakhiri SIK kepada wartawan kemarin mengatakan bahwa kegiatan tersebut telah mendapatkan ijin dari Polda Papua sehingga pihaknya hanya melakukan pengamanan kelancaran lalulintas dan memantau aktivitas tersebut agar tidak dinodai dengan aksi-aksi yang berkaitan dengan praktek pidana.
Wartawan Asing
Sementara itu akhir dari pada kegiatan mimbar bebas tersebut, sedikit ternoda dengan aksi saling kejar-kejaran antara petugas dan beberapa anggota KNPB. Aksi saling kejar-kejaran tersebut berbuntut dari petugas yang mencoba mengamankan salah satu warga asing terlihat akan mengabadikan kegiatan tersebut. Saat akan diamankan sekelompok pemuda berseragam loreng Army yang berjumlah 5 orang langsung mengejar aparat, agar tidak mengamankan pria asing tersebut, bahkan kejar-kejaran tersebut hingga ke Hotel manunggal yang diduga merupakan penginapan warga asing tersebut. Di hotel manunggalpun warga asing tersebut dilindungi masa, sehingga petugas masih belum bisa mengantongi identitasnya secara detail.
Salah seorang anggota Satreskrim Polres Jayapura Briptu Aris mengalami luka gores di bagian lengan kanan. Sementara petugas juga langsung mengamankan salah seorang pemuda berinisial ES. Pria yang mengaku baru saja menamatkan studinya di jenjang SMA pada Juni kemarin itu langsung digiring ke Mako Polsek Jayapura untuk mempertanggung jawabkan perbutannya itu.
Kapolres Jayapura AKBP Mathius Fakhiri SIK mengatakan bahwa sebenarnya pihaknya menunggu para pentolan KNPB untuk pertanggung jawabkan salah seorang rekannya itu sayangnya semuanya tiba-tiba menghilang, tanpa mempediulikannya. Nemun menurut Kapolres karena yang bersangkutan masih berusia pelajar maka untuk tindak lanjut prosesnya juga akan dipertimbangkan.
Sementara warga asing yang mengabadikan moment tersebut menurut Kapolres sedang diselidiki oleh petugas yang diduga sementara menginap di hotel Manunggal Sentani, terkait tujuan kedatangannya ke Indonesia termasuk Papua. “Kita masih selidiki, identitas, dan tujuan kedatangannya,” jelas Kapolres.
Lagi-lagi pernyataan kontra justru datangnya dari Ketua DAP Forkorus Yaboisembut yang menegaskan bahwa sebenarnya masalah politis Papua bukan rahasia lagi dan ini sudah ada di situs-situs resmi ternama di dunia, sehingga siapa saja dia yang berniat mengabadikan moment tersebut baik warga Indonesia ataupun bukan tidak perlu di persoalkan lagi. Khusus untuk salah satu anggota KNPB yang ditahan Forkorus berharap agar Polisi bisa membebaskannya, karena tidak ada unsure-unsur pidana apapun yang bisa menjerat dia.