Selasa, 07 Desember 2010

MK Beberkan Temuan Tim Investigasi 9 Desember

akarta - Tim investigasi yang dipimpin Refly Harun akan menyerahkan temuan terkait dugaan suap di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini pukul 17.00 WIB. MK selanjutnya akan mengumumkan temuan itu pada Kamis 9 Desember 2010.

"Laporan dari tim investigasi yang dipimpin oleh Refly Harun baru akan diserahkan kepada saya nanti sore pukul 17.00 WIB," kata Ketua MK, Mahfud MD.

Hal ini disampaikan Mahfud dalam jumpa pers di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (8/12/2010).

Setelah itu, kata Mahfud, MK akan melakukan jumpa pers terkait dengan isi atau temuan apa saja yang telah ditemukan oleh tim investigasi besok sekitar pukul 09.00 atau pukul 10.00 WIB.

"Jadi, soal substansi laporan, saya belum bisa sampaikan. Karena, saya sendiri belum tahu hasilnya seperti apa.

Pak, kenapa tidak nanti sore jumpa pers soal substansi laporan Refly? "Kebetulan nanti sore, saya ada peluncuran buku di TMII dan saya juga mengisi menjadi pembicara di acara tersebut. Jadi diputuskan besok saja," jawab Mahfud.

Seperti diketahui, tulisan Refly dimuat di rubrik Opini Harian Kompas, Senin 25 Oktober 2010, dengan judul "MK Masih Bersih?". Dalam tulisan itu, Refly menyebutkan pernah mendengar langsung bahwa di Papua ada orang yang mengantarkan dan menyediakan uang bermiliar-miliar untuk berperkara di MK, termasuk untuk menyuap hakim di MK dalam kasus Pemilukada.

Pakar hukum tata negara ini juga mengungkapkan jika melihat dengan mata kepala sendiri tumpukan uang Rp 1 miliar, yang akan diberikan kepada hakim MK oleh orang yang sedang berperkara.

Tulisan Refly kemudian memancing reaksi dari Mahfud MD. Dia langsung menunjuk Refly sebagai ketua tim independen yang menyelidiki dugaan suap tersebut. Beberapa anggota tim tersebut antara lain, Bambang Widjojanto, Adnan Buyung Nasution dan Saldi Isra. Tim bekerja hingga 8 Desember 2010.
(aan/asy)

WAJAH HAM PAPUA TERKINI

"Doa membawah Duka di Bolakme,Papua"

Oleh : John Pakage

Sejak lama di Papua konflik bersenjata sebagai konspirasi politik antara Pemerintah Indonesia dan Orang Papua sudah, sedang dan terus terjadi. Tak sedikit jumlah warga sipil yang menjadi korban. Pembantaian, penangkapan dengan stigma separatis dan Makar bagi warga sipil di Papua telah menjadi semacam “ayat hafalan” bagi aparat keamanan Indonesia yang dibiayai oleh beberapa negara Asing dalam pendidikan dan pelatihannya.

Pembantaian warga sipil di Papua tidak hanya terjadi pada Tanggal 1 Desember, yang bagi orang Papua merupakan hari kemerdekaan bangsa Papua, Tetapi selalu terjadi pembantaian dan penangkapan kapan dan dimana saja.

Perayaan hari kemerdekaan di Papua selalu dirayakan oleh orang Papua dalam berbagai cara. Ada dalam bentuk doa dan orasi politik, ada yang dalam pengibaran bendera Bintang Kejora, ada juga dalam bentuk Puasa dirumah.

Perayaan 1 Desember tahun 2010 di Papua dirayakan dalam bentuk Doa dan Puasa dengan menggunakan busana serba Hitam sambil mengenang jasa banyak korban warga sipil Papua yang telah ditembak oleh aparat keamanan.

Dalam semangat memperingati hari independent Day di Papua walaupun kondusip, namun telah terjadi sejumlah insiden penembakan terhadap warga sipil dan penangkapan sejumlah orang dan juga para tahanan Politik Papua di kirim ke tahanan Polisi Daerah Papua ( Polda, Papua). Situasi ini membuat warga merasa ketakutan.

Pada gilirannya dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI, semua orang Papua adalah separatis, kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan separatis. Untuk motivasi ini, OPM yang selalu kecil kekuatannya selalu dikampanyekan sebagai ancaman serius bagi NKRI. Obsesi itu tumbuh dari cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik Papua sekadar masalah "bom waktu yang ditinggalkan Belanda" atau bush dari hasutan kelompok separates, bukan merupakan persoalan mendasar yang berkaitan dengan rasa keadilan dan harga dire orang Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan "hantu OPM" itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara fisik (membunuh) dengan menggelar operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun.

Kensep berpikir dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI, semua orang Papua adalah separatis , maka Satu Kompi TNI dari satuan Kostrad 330 mengobrak-abrik rumah warga sipil milik Lukas Menigir, di Kampung Workwana Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua Jumat (26/11). anggota TNI itu masuk kampung dengan empat truk sekitar pukul 04.00 WIT dini hari. Saat penghuni Rumah sedang dalam suasana Tidur pulas.

Selanjutnya terjadi pembantaian di Bolakme, Wamena Rabu (1/12) terjadi saat aparat TNI dari Satgas Batalion 755 Merauke mengajak anggota Polisi untuk melakukan patroli bersama-sama dalam rangka pengamanan 1 desember.

Saat aparat keamanan dengan senjata lengkap tiba di lokasi yang dicurigai oleh aparat akan terjadi pengibaran bintang Kejora. Ternyata warga sedang melakukan Doa bersama. Walaupun warga sipil sedang doa, aparat keamanan tak segan-segan melakukan tembakan terhadap dua warga sipil bernama Atili Wenda (35) terkena luka tembak dibahu kiri dan juga aparat menembak Melus Tabuni (46) di bahu kiri tembus di belakang.

Kabid Humas Polda Papua Komisaris Besar Pol. Wachyono membenarkan adanya penembakan di Bolakme, Namun dirinya mengatakan bahwa untuk informasih lebih lanjut para wartawan untuk menghubungi pihak TNI. Kabid Humas Polda Papua juga membenarkan adanya dua anggota Polisi yang ikut serta bersama TNI . Namun pihak TNI membantah adanya penembakan di Bolakme.

Kapendam XVII/Trikora, Letkol CZI Harry Priyatna (2/12) membantah dua korban warga sipil terkenah tembakan. Dan Menurutnya, “justru warga sipil yang melakukan penyerangan lebih dahulu sehingga untuk membela diri dikeluakan tembakan”tegas Kapendam.

Setelah di Wamena perayaan Hut Papua yang dirayakan dalam bentuk doa memakan korban jiwa, kini giliran di Jayapura. Lagi-lagi warga sipil di tembak mati oleh Aparat Keamanan.

Miron Wetipo di tembak mati aparat keaman di Perbukitan Tanah Hitam, Kampey, Jayapura (3/12). Miron adalah Narapidana yang lari dari penjara di Abepura bersama 3 rekannya. Saat keempat Narapidana ini lari, aparat keamanan TNI dari Komando Resor Militer 172/Praja Wirayakhti di Bawah Kendali Operasional (BKO) bersama Kepolisian Resor Kota Jayapura melakukan penyergapan di salah seorang rumah warga Sipil bernama Danny Kogoya.

Di sekitar rumah Danny Kogoya, aparat menangkap delapan warga sipil lainnya serta mengobrak abrik sebuah gereja. Dalam gereja tersebut aparat keamanan juga menyita sebuah dokument rencana penyerangan kota Jayapura.

Saat Operasi dilakukan, seorang bayi anak dari Danny Kogoya yang saat itu masih tidur mengalami shock berat dan akhir meninggal karena jantungan beberap kemudian.

Adapun delapan warga sipil yang ditangkap adalah Nalius Karoba, (23),yupiter Tabuni (23), Yumbuk Jikwa (27),Yotam kogoya (24),Manu Kogoya (21), Lambert Siep (21),Tenius Yikwa (26), dan Yesmin Yikwa seorang pendeta.

Bersamaan itu pula, Polresta Jayapura memindahkan Tahanan Politik Papua, Filip Karma dan Buchtar Tabuni serta Narapidana bernama Dominggus Pulalo , Alex Elopere , dan Lopes Karubaba dari Abe ke Tahanan Polda Papua. Alasan pemindahan adalah Filip dan Buchtar menjadi dalang kericuhan di Lapas Abe.

Menanggapi tuduhan tersebut Filip Karma mengatakan bahwa dirinya bersama Buchtar adalah mediator antara para Narapidana yang hendak menanyakan prihal penembakan Miron Wetipo dan ketua penjara.

Sebagai sikap protes terhadap buramnya penegakan HAM DI Papua, serta penembakan yang terus terjadi terhadap warga sipil, maka Filip Karma sedang melakukan mogok makan. Akibatnya kondisi Filip semakin lemas.

Aparat keaman tidak berhenti sampai disitu, selanjutnya Polda Papua juga menangkap Sebby Sambom di Sentani, Papua saat dirinya berada dalam kabin pesawat Garuda Indonesia. Sebby hendak berangka ke Jakarta pada hari sabtu (4/12). Sebby adalah Aktivis HAM Independen Papua.

Penembakan serta kekerasan terhadap warga sipil Papua yang dilakukan aparat keamanan seperti yang terlihat dalam Video penyiksaan di PUncak Jaya (Maret 2010), atau pembunuhan mahasiswa Akademi Keperawatan Enarotali tanggal 15 Oktober, atau penembakan anggota Penjaga Tanah Papua di Wamena (tanggal 4 Oktober) dan penembakan 2 warga sipil di Manokwari oleh Brimob. Satu diantaranya adalah seorang Pendeta.

Selanjutnya giliran Yapen Waropen, Sabtu,11 Juli 2009, pukul 09.00 WIT konvoi Patroli Gabungan dari Polres Kepulauan Yapan dan TNI Kompi Rajawali, melakukan Patroli rutin ke kaki Gunung Tanisi (batas Kampung Yapan dan Kampung Mantembu, saat patroli gabungan masuk perkampungan Yapan tepatnya dipertengahan Balai Kampung Yapan (RW III dan RW IV), kemudian terjadi baku tembak antara Aparat gabungan dengan kelompok OPM yang dipimpin Fernando Warobai, namun tidak ada korban dari kedua belah pihak dan juga masyarakat sipil dalam insiden baku tembak itu.

Sebelum terjadi baku tembak, anggota dari kelompok Fernando Warobai telah memberikan peringatan kepada masyarakat dengan memukul lonceng sebagai tanda/isyarat agar masyarakat segera keluar dari kampung dan mencari tempat perlindungan agar masyarakat tidak menjadi korban. Setelah kontak senjata berlangsung 1 menit dengan pihak keamanan dan kemudian kelompok Fernando Warobai melarikan diri masuk ke hutan.

Aparat menduga kelompok Fernando Warobai dan Yawan Wayeni serta anggotanya masih bersembunyi disekitar Kampung Mantembu dan Kampung Yapan, kemudian aparat gabungan yang dipimpin langsung oleh Kapolres Kepulauan Yapen AKBP. Imam Setiawan, SIK melakukan penyisiran di kedua kampung tersebut, untuk mencari Fernando Warobai Penyisiran yang berlangsung dari pukul 10.00 s/d 11.00 WIT. Namun aparat tidak berhasil menemukan kelompok Fernando Warobai di kedua kampung tersebut.

Karena Fernando Warobai yang diduga anggota OPM tidak dapat ditemukan. Sehingga 14 warga yang ditangkap diantaranya 13 laki-laki dan 1 Perempuan salah satunya ditembak mati atas nama Yawan Wayeni oleh Aparat gabungan TNI/Polri kemudian 13 orang di giring dalam mobil dan disertai dengan pemukulan dan di bawah ke Polres Kepulauan Yapan.

Yawan Wayeni disuruh jalan kaki menuju kerumah sakit untuk melakukan perawatan insentif terpaksa meninggal di Jalan. Yawan ditembak, karena diduga keras anggota OPM yang melakukan aksi Pengibaran Bendera Bintang kejora di Kampung Mantembu dan Kampung Yapan.

Sebulan berikutnya, di Wamena lagi-lagi warga sipil menjadi korban penembakan . Opinus Tabuni (45) pada acara peringatan Hari Pribumi Sedunia di Wamena 9 Agustus 2009 lalu, hingga saat ini masih belum jelas pengungkapan siapa pelaku penembaknya.

Sejumlah penembakan dan kekerasan yang sebutkan diatas adalah yang sempat terkuak di publik namun tak dapat di pungkiri bahwa masih ada kasus semacam ini yang tidak diketahui publik karena akses media di Papua yang tidak merata.

Banyak daerah di Papua yang sangat sulit bagi akses sebuah media, jika pun ada kini ada wartawan yang di jadikan agen atau informan oleh aparat keamanan ditambah lagi media di Papua sangat sulit mendekati kebebasan berpendapat karena media dibawah tekanan aparat keamanan akibatnya konflik kemanusian di Papua tidak terungkap.

Wajah Media di Papua juga tidak memperhatikan unsur berimbang, karena selalu membuat berita dari sumber sepihak. Sehingga media-media di Indonesia muncul pembenaran atas tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Kondisi ini juga menjadi salah satu alasan Pemerintah Indonesia mempersulit jurnalis asing maupun pekerja HAM dan Peneliti untuk masuk ke Papua.

Larangan ini bukanlah baru, karena sejak lama Pemerintah Indonesia telah melarang dan tidak memberi akses untuk aktivis HAM dan jurnalist asing untuk masuk dan bekerja di Papua. Sementara di daerah lain di luar Papua, akses pekerja HAM dan Jurnalist asing tidak serumit seperti yang terjadi di Papua.

Pelarangan dan tidak adanya akses untuk media asing masuk ke Papua ini secara implisit hendak mengatakan agar tidak terbongkarnya wajah Buram HAM dan Impunitas yang terjaga baik di Papua. Pelarangan ini juga melegalkan kekerasan militer terhadap warga sipil. Demi sebuah negara, faktor kemanusiaan terlupakan. Untuk sebuah harga Nasionalisme semu demokrasi di Papua di bungkam.

Akibat banyaknya pelanggaran HAM yang belum mendapat rasa keadilan bagi korban serta keluarga korban di Papua, maka sikap apatis dan ketidak percayaan orang Papua ke indonesia pun kian mendapat tempat.

Aspirasi Politik Rakyat Papua untuk mengakhiri wajah Indonesia di Papua yang penuh Militeristik dan impunitas terus bergema. Orang Papua dengan tegas menyatakan hendak merdeka secara politis. Rakyat Papua berkomitmen untuk Merdeka, keluar dari NKRI dan membentuk Negara berdaulat sendiri. Demi menekan laju pergerakan Papua merdeka maka Pemerintah Indonesia memberlakukan Otonomi Khusus. Kini Otonomi Khusus telah berjalan 9 tahun (2001-2010), Namun telah gagal dalam pelaksanaannya.

Tidak jalannya Otonomi Khusus Papua diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mengatakan perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh atas pelaksanaan otonomi Khusus Papua. Untuk itulah Forum KOmunikasi Konstruktif Papua di bentuk. Forum ini bertujuan mematahkan perjuangan penyelesaian konflik Papua secara damai dan bermartabat. Upaya damai ini telah digagas oleh Pater Dr. Neles Tebay dan Tim Lipi untuk berdialog dengan Jakarta.

Adalah Pater Dr Neles Tebay Pr, dari Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI) telah menggagas Dialog antara Jakarta – Papua sebagai upaya Damai menyelesaikan persoalan Papua selama Indonesia masih memerintah atas Papua. Upaya ini perlu didukung karena saat dialog tentu ada evaluasi soal Otonomi Khusus Papua yang menurut Presiden SBY perlu ada Evaluasi Total atas pelaksanaan Otonomi Khusus.

Selain itu, tentu ada bagian soal pelanggaran HAM di Papua. Di bagian itu akan dibahas bagaimana cara para korban bisa merasakan keadilan. Kompensasi bagi keluarga korban serta tidak terjadi impunitas bagi pelaku kasus HAM. Itulah penegakan Hukum dan HAM yang tepat.

Bagian lain dalam upaya Dialog secara bermartabat ini juga akan membicarakan soal distorsi sejarah. Awal mula pendekatan Pemerintah Indonesia di Papua. Tahapan ini sangat penting agar tidak ada lagi pemahaman yang salah terhadap sejarah awal. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.

Upaya menolak konsep penyelesaian konflik secara damai antara Papua dan Jakarta di dorong oleh sebuah lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang pemberdayaan Papua. Adalah World Vision International ( WVI ) menggiring sejumlah tokoh Agama di Papua pada tanggal 17 Agustus 2010 menggelar dan mensponsori sebuah seminar MTC di Depok, Jakarta, yang dihadiri petinggi Negara dari Departemen Dalam Negeri, Menkpolhukam, Komnas HAM, BIN, Sekretariat Kepresidenan. Bappenas dan Sekretariat Kepresidenan: Desk Papua.

Para Pimpinan Gereja Papua diundang ikut hadir antara lain: Dr Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Kingmi, dan Pdt. Lipiyus BIniluk, Ketua SInode GIDI. Para akademisi yang mengambil peran dalam mengendalikan seminar ini masing-masing Prof. Tomagola dari Universitas Indonesia dan Dr. La Pona dari Universitas cenderawasih. Pada akhir seminar merekomendasikan pembentukan wadah Forum KOmunikasi Konstruktif Papua dan menolak diadakan Dialog Damai antara Jakarta dan Papua karena dianggap politis.

Melihat kekerasan di Papua tak kunjung akhir, maka West Papua Action Team (WPAT) yang berpusat di Amerika mengirimkan surat kepada Presiden Obama untuk bicarakan soal reformasi dan demokratisasi lebih asli di Indonesia dan khusus di Papua Barat dimana penyalahgunaan hak, ketidakadilan manusia dan gaya korupsi keamanan adalah endemik. Otonomi Khusus belum mampu menyelesaikan persoalan Papua.

Dalam surat tersebut WPAT menghendaki agar militer mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia, khususnya termasuk mengakhiri "operasi sweeping" oleh Pasukan Khusus Indonesia (Kopassus), menggantikan budaya impunitas dengan akuntabilitas asli militer dan kejahatan hak asasi manusia dan korupsi, untuk menghentikan kekuatan militer penuh untuk menghentikan Demonstrasi Damai di Papua, juga pembebasan terhadap tahanan politik Papua dan tahanan saat demo Damai digelar.

Menjadi logis jika Kebijakan militeristik oleh Indonesia di arahkan melawan negara lain yang nyata-nyata telah mengambil beberapa kepulauan terluar dari Indonesia. Akhirnya kebijakan operasi militer di Papua menjadi tak rasional karena orang papua tidak hendak merampas salah satu kepulauan dari Indonesia.

Begitu besar dana yang telah habis oleh Pemerintah Indonesia dalam operasi militer di Papua sejak 1961 hingga kini. Dana untuk membunuh orang Papua di Indonesia yang kritis terhadap penegakan Hukum dan HAM serta Demokrasi di Tanah Papua.Tak pelak, yang menjadi korban adalah warga sipil orang Papua di Indonesia juga di lain segi aparat Keamanan orang Indonesia.

Melihat kondisi ini pemberian bantuan pendidikan dan pelatihan bagi aparat keamanan baik TNI dan Polisi di Papua oleh Amerika, Australia dan New Zealand hendaknya di pikir kembali. Pemberian bantuan dana oleh negara asing dengan harapan aparat keamanan Indonesia menjadi profesional dan tidak untuk membunuh warga sipil. Namun, harapan itu sirnah lantaran penembakan dan penangkapan warga sipil di Papua hingga hari ini masih terjadi.

Penyelesaian kasus Papua juga bukan dengan diberikan uang yang cukup banyak kepada Pemerintah Indonesia dan di teruskan ke Pemerintah Daerah Papua seperti dalam undang-undang Otonomi Khusus. Tentu hal pemberian uang dalam jumlah yang besar perlu namun kondisi ini tidak akan menyelesaikan persoalan. Toh, walaupun triliunan dana telah beredar di Papua namun kondisi masyarakat tidak berubah dan justru konflik kekerasan serta letupan senapan terus bergema.

Pendekatan militeristik Indonesia di Papua, Sejauh Impunitas, penembakan warga sipil serta stigma separatis dan makar bagi orang Papua terus menjadi kata wajib bagi aparat, maka awal yang baik bagi orang Papua untuk menyatakan diri bukan bagian dari negara militeristik Indonesia.

Penembakan dua warga sipil di Bolakme, Wamena, Papua saat mereka hendak berdoa pada 1 Desember 2010 mencoreng citra negara yang menjunjung tinggi nilai keagamaan. Operasi Militer di Papua adalah Pagar Makan Tanaman tulis Jurnal Penelitian Politik, Vol.3/No.1/2006, LIPI, Jakarta.

(Sumber : Milling List komunitas papua)

Keluarga dilarang besuk Filep Karma

Filep Karma dan Buchtar Tabuni sejak , 3 Desember 2010 dipindahkan ke tahanan Polda Papua. sampai saat ini belum diproses hukum oleh kepolisian dan belum didampingi pengacara.



Sejak 4 Desember 2010, sampai saat ini, akses bertemu dengan Filep Karma dan Buchtar Tabuni di tutup. Keluarga(adik kandung karma, 2 orang) dan wakil dari SKPHP mencoba datang pada hari senin, 6 Desember 2010, mereka harus berhadapan dengan petugas polisi. Pada jam 16.00, keluarga meminta petugas polisi untuk ketemu Karma, karena aturan jadwal besok tahanan setiap hari, kecuali hari libur dan tanggal merah dari jam 15.00 – 17.00.

keluarga menanyakan kepada petugas polisi ‘’kenapa kami tidak bisa bertemu kakak kami’’ujar adik karma. Petugas polisi memberikan jawaban ‘’karena karma,cs, adalah tahanan titipan lapas Abepura , ini sudah perintah atasan, kalau ingin bertemu, harus melapor dulu kepada Kepala satuan reserse kriminal (Kasat Reskrim, Polda Papua), karena kami hanya menjalan perintah dari atasan’’. Keluarga tetap mendesak hanya ingin memberikan makanan serta perlengkapan kebutuhan Karma, keluarga juga ingin menanyakan dan mendengar sendiri dari Filep Karma, kenapa sampai dipindahkan dan kenapa kami tidak bisa bertemu.



Petugas memberikan kesempatan hanya sebentar saja , untuk keluarga memberikan perlengkapan kebutuhan Karma, kemudian keluarga diminta untuk pulang. Informasi yang didapatkan dari keluarga, bahwa sejak 3 Desember, hingga 5 Desember, jam 2 siang. Petugas lapas Abepura mengantar makanan untuk lima orang napi yang ditahan, jadi selama satu hari tahanan tidak diberikan makanan. Karma menanyakan kepada petugas polisi’’kenapa kami ,tidak diberikan makan’’. Petugas mengatakan ‘’karena karma ,cs, adalah tahanan titipan lapas Abepura, jadi menjadi tanggungan Lapas, bukan tanggungan kepolisian’’.



Lima narapidana yang ditahan, tidak mendapatkan akses makanan dan minuman yang baik, petugas Lapas Abepura, sejak 5 Desember membawa makanan tidak disertai minum. Sehingga keluarga harus membawa air galon Aqua untuk lima narapidana mendapatkan minuman. Karma sejak 4 Desember, melakukan mogok makan, salah satu bentuk protes kepada Kakanwil Papua dan Kalapas Abepura ,karena dia tidak merasa bersalah.



Keluarga mengirim surat kepada Kalapas Abepura, Kapolda Papua , Kasat Reskrim , dan ditembuskan kepada Wakapolda dan Kabareskrim. Keluarga mempertanyakan dasar hukum mana, yang kami tidak bisa menemui Karma.

Situasi yang dihadapi oleh Filep Karma dan Buchtar Tabuni adalah merupakan penyiksaan Negara secara non – fisik. Terlepas dalam konteks pasal ‘’Makar dan Penghasutan’’ yang menyebabkan Filep Karma harus menjalani ,15 Tahun dan Buchtar tabuni , 3 Tahun Penjara, bahwa narapidana juga adalah manusia. Mereka sama hak dan martabat dengan manusia yang berada di luar penjara.



Dengan dipindahkan Filep Karma dan Buchtar Tabuni , adalah wajah buruk perlakuan oknum Negara Indonesia kepada Tahanan Politik Papua. Oknum Negara tidak menjalankan aturan yang sesuai dengan Pasal 10 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik: “Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan tetap menghormati martabatnya sebagai manusia.”

Sangat jelas bahwa oknum Negara tidak menjalankan aturan ‘’Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)’’ . sehingga petugas polisi yang keluarga Filep Karma hadapi ‘’mereka yang hanya taat kepada atasan , tapi tidak taat kepada UU yang merupakan aturan dasar yang sah untuk di patuhi’’.



Filep Karma dan Buchtar Tabuni berhak mendapatkan kunjungan dari keluarga, penasihat hukum dan orang lain, sesuai dengan pasal 18 ayat 1 PerMenkeh RI dan Filep Karma dan Buchtar juga Bebas melakukan surat-menyurat dengan penasehat hukum atau sanak keluarga, sesuai pasal 18 ayat 4 PerMenkeh RI. Sekarang menjadi pertanyaan bagi Keluarga Narapidana yang dituduh adalah sebagai penghasut dan ditahan karena kasus kerusuhan Lapas Abepura, 3 Desember 2010, mempertanyakan dasar hukum apa yang digunakan oleh Kantor Kepolisian Daerah Papua untuk Tahanan titipan Lapas Abepura yang sudah berjalan 4 hari, tidak bisa dikunjungi oleh keluarga, pengacara,dan orang lain. (SKPHP)

* SOMERPost * Dukung * Kontak * Layanan * Bacaan * Download * Koleksi Lagu Dani Kogoya Bukan Pelaku Penembakan di Nafri

Jayapura, SOMERPost : Pengejaran TNI-Polri terhadap Dani Kogoya, petani asal Wamena yang dihakimi media massa lokal maupun nasional sebagai pelaku penembekaan misterius di Nafri, Minggu (28/11) lalu sangatlah berlebihan. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu anggota kerabatnya kepada SOMERPost beberapa menit lalu.

Dani disebut sebagi petani biasa yang sedang mencari nafkah untuk membesarkan anak-anaknya setelah istrinya meninggal dunia beberapa bulan lalu.

“Abang Dani bukan pelaku penembakan, dia sama sekali tidak tahu apa-apa dengan kejadian ini, dia cuma petani biasa yang sedang berusaha membesarkan anaknya seorang diri karena istrinya meninggal dunia beberapa bulan lalu,” jelasnya kepada SOMERPost.

Informasi yang diperoleh blogsite ini, Dani yang mengetahui dirinya dijadikan kambing hitam dalam kasus ini sedang mengamankan dirinya di sebuah tempat yang aman. SOMERPost berusaha melakukan kontak tetapi HP-nya tidak aktif.

Penembakan membabi-buta di Nafri mengakibatkan 1 orang tewas, sedangkan 5 lainnya mengalami luka-luka. Aparat TNI-Polri menanggapi penembakan terhadap warga non Papua itu dengan menggerebek rumah Dani Kogoya di Tanah Hitam Abepura dan membunuh seorang Papua bernama Miron Wetipo, Jumat (3/12) lalu.

Miron, tahanan yang sedang kabur dari LP Abepura dan kebetulan melintas di dekat rumah Dani Kogoya yang sedang digerebek, ditembak mati tanpa proses apa-apa. Dia dituduh sebagai anggota OPM yang terlibat penyerangan Nafri.

Beberapa kalangan menilai, penembakan terhadap Miron Wetipo lebih didasari oleh sentimen rasisme ketimbang penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat.

“Penyerang di Nafri membunuh orang non Papua kemudian TNI-Polri yang tidak mampu menemukan pelaku seenaknya menuduh orang Papua sebagai pelaku penyerangan dan dengan demikian mereka membunuh Miron Wetipo hanya karena dia orang Papua, ini jelas pembalasan rasisme,” jelas John, seorang pemerhati masalah-masalah sosial di Abepura.

Pembunuhan terhadap Miron kemudian memicu bentrok antara para narapidana dengan petugas LP Abepura yang berujung pada pemindahan beberapa narapidana ke tahanan Polda Papua. Mereka yang dipindahkan diantaranya Buchtar Tabuni dan Filep Karma karena keduanya dianggap sebagai provokator

Dalam penggerebekan di rumah Dani Kogoya, TNI-Polri menangkap Yus Jikwa (23), Itok Tabuni (23), Elmin Jikwa (27), Lani Boma (24), Maluk Tabuni (21), Nalius Jikwa (26), Matius Siep (21) dan Kagoyanak Jikwa (25).

8 pemuda itu ditangkap saat sedang berkumpul di dalam rumah Dani Kogoya. Mereka kemudian dituduh sebagai pelaku penyerangan Nafri dan untuk menguatkan tuduhan tersebut, mereka dituduh menyimpan sejumlah amunisi, senjata tajam dan dokumen Papua Merdeka.

Tetapi, saksi mata yang minta namanya dirahasiakan menyebutkan, amunisi dan dokumen Papua Merdeka berupa rencana penyerangan susulan di Buper Waena itu diselipkan oleh seorang anggota Brimob dekat bangunan gereja di samping rumah Dani Kogoya kemudian mereka berpura-pura menemukannya.

Penggerebekan dan penangkapan ke-8 pemuda tidak bersalah bersama sejumlah barang bukti “titipan” Brimob itu sempat menjadi pemberitaan media massa yang cukup hangat, dimana beberapa media massa nasional langsung menuduh mereka sebagai anggota OPM dan teribat penyerangan Nafri.

Ke-8 pemuda yang ditahan akhirnya dibebaskan sehari kemudian, Sabtu (4/12) karena tekanan beberapa LSM dan keberhasilan Polda Papua dalam menetapkan Dani Kogoya sebagai kambing hitam penyerangan Nafri berdasarkan dokumen palsu yang mereka buat sendiri.

Dengan penetapan Dani Kogoya sebagai kambing hitam dalam kasus ini, maka pelaku penembakan yang sebenarnya dan motif dibalik aksi mematikan itu semakin sulit terungkap.

Pembunuhan bermotif rasis terhadap Miron Wetipo pun tidak diusut tuntas karena kuatnya opini media massa yang gencar menyebutkan Dani Kogoya sebagai pelaku penyerangan dan upaya TNI-Polri untuk “melindungi masyarakat” dari ancaman para penyerang.***

Penangkapan Sebby Sambom Disorot

Penangkapan Sebby Sambom Disorot

Jamms Tabuni Jayapura-Penangkapan terpidana kasus penghasutan di Pengadilan Negeri Klas 2 A Jayapura Sebi Sambom di Bandara Sentani, mendapat sorot dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB). KNPB yang selama ini mengklaim sebagai medianya orang Papua, menyatakan bahwa penangkapan Sebby Sambom adalah sebagai satu kegagalan penegakan hukum di Indonesia. “Sebab surat kasasi Tuan Sebby Sambom terlambat diturunkan, maka ia dinyatakan bebas. Oleh sebab itu ia boleh melakukan kegiatan apapun yang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi,” ungkap Juru Bicara KNPB Jamms Tabuni saat menggelar jumpa pers di Kantor Kontras Papua Selasa (7/12). Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengeluarkan pernyataan terkait peristiwa penembakan di Kampung Nafri 28 November lalu serta kasus penembakan di Jayawijaya. Terkait dengan peristiwa penembakan di Kampung Nafri, KNPB menuntut pengusutan atas penembakan tersebut oleh pihak yang netral. “Penembakan di kampung Nafri harus diusut tuntas tim yang benar-benar independen, karena kami menilai sangat tidak mungkin TPN/OPM berkeliaran di kota dengan membawa senjata,” ungkapnya lagi. Ditegaskan, KNPB meminta pihak TNI/Polri untuk berhenti mengkambinghitamkan TPN/OPM sebagai pelaku dalam peristiwa tersebut. “Sebab kami yakin, bahwa ada skenario yang sedang dimainkan secara sistematis oleh oknum-oknum tertentu, yang ingin mengacaukan situasi Papua,” jelasnya.

KNPB juga menyatakan dukungan Wakil Gubernur Alex Hesegem, yakni dalam pengusutannya adalah oleh pihak yang benar-benar independen tanpa melibatkan TNI/Polri. “Misalnya dari kawan-kawan NGO (Non Govermen Organisation) dan Komnas HAM,” ungkapnya. Dalam kesempatan yang sama, tentang desakan tersebut Koordinator Kontras Papua Johanis H Maturbongs,SH mengatakan bahwa pihaknya siap jika memang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan. “Yang jadi

Video Kekerasan dan Penyiksaan Warga Sipil Jilid II, Dibeberkan

Video Kekerasan dan Penyiksaan Warga Sipil Jilid II, Dibeberkan
Berdurasi 7 Menit, Lebih Sadis dari Kasus Sebelumnya

JAYAPURA—Setelah kasus kekerasan dan penyiksaan warga sipil di Puncak Jaya disidangkan di Pengadilan Militer Jayapura, kini giliran kasus kekerasan dan penyiksaan jilid II yang kabarnya lebih sadis lagi diungkap. Hal ini terungkap saat pertemuan Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Perwakilan Papua dengan Pangdam XVII/Cenderawasih, Senin (6/12) di Makodam XVII/Cenderawasih. Dalam pertemuan itu, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua, Mathius Murib SH, bahwa Komnas HAM memperlihatkan data kekerasan dan penyiksaan warga sipil jilid II yang diduga dilakukan anggota TNI terhadap warga sipil di Puncak Jaya. Data itu menunjukkan sejumlah dokumen berupa rekaman video, data serta hasil pemantauan di lapangan, termasuk wawancara dengan pihak korban menyangkut kekerasan dan penyiksaan terhadap 2 orang warga sipil, masing masing Anggenpugu Kiwo dan Telangga Gire di Kabupaten Puncak Jaya, pada 18 Maret 2010. Kekerasan dan penyiksaan II ini, ternyata lebih sadis, brutal dan tak berprikemanusiaan daripada video kekerasan dan penyiksaan terhadap warga pada 17 Maret 2010.
“Video kekerasan dan penyiksaan terhadap 2 orang warga tersebut berdurasi 7 menit terjadi pada 18 Maret 2010 atau sehari setelah video kekerasan dan penyiksaan yang pertama. Kedua korban bahkan dibakar alat vitalnya serta lehernya disangkur,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Mathius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (7/12) usai melakukan pertemuan bersama antara Pangdam XVII/Cenderawasih bersama Tim Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Perwakilan Papua di Makodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Senin (6/12).

Tim Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Papua yang lain pada saat yang bersamaan bertemu Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs Arie Sulistyo di Mapolda Papua, Jayapura.Ironisnya, lanjutnya, pelaku kekerasan dan penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak Jaya sebelumnya telah disidangkan dan diputuskan Pengadilan Militer Jayapura. Tapi video kekerasan dan penyiksaan yang kedua yang justru lebih sadis, brutal dan tak manusiawi ini belum disentuh hukum militer. Untuk keperluan penyidikan, lanjutnya, pihaknya telah menyerahkan video kekerasan dan penyiksaan terhadap dua warga sipil tersebut kepada Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Erfi Triassunu merasa kaget ketika Tim Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Perwakilan Papua menyodorkan bukti bukti menyangkut video kekerasan dan penyiksaan jilid II yang diduga dilakukan TNI terhadap dua orang warga sipil di Puncak Jaya.

Karena itu, tambahnya, pihaknya telah menyampaikan supaya kasus tersebut diproses hukum. Namun demikian, Pangdam berjanji bila terbukti, maka ia akan memproses anggotanya yang terlibat. Dia mengatakan, pihaknya juga menyampaikan kepada Pangdam dan Kapolda bahwa dari rangkaian peristiwa penyiksaan yang ada di Puncak Jaya sejak 2004 sampai 2010 baru satu kasus yang diproses, yakni kekerasan dan penyiksaan terhadap sejumlah warga sipil di Kabupaten Puncak Jaya. Menurutnya, Pangdam juga sepakat sebenarnya perbuatan anggotanya di lapangan tak sesuai dengan fungsi dan tugas TNI dan tak sesuai prosedur tetap yang dipakai di lapangan itu. Karena itu ia setuju dengan proses hukum terhadap aparat TNI yang terlibat. Dikatakan, 2 orang korban kekerasan dan penyiksaan hingga kini masih menjalankan aktivitasnya di Kabupaten Puncak Jaya, tapi keduanya menderita tuli. (mdc/don

Video Violence and Torture Civilian Volume II, released Duration 7 Minutes, More Sadis from Previous Case

Video Violence and Torture Civilian Volume II, released
Duration 7 Minutes, More Sadis from Previous Case

JAYAPURA-After cases of violence and torture of civilians in Puncak Jaya's trial in the Military Court of Jayapura, now turn to cases of violence and torture volume II is reportedly more sadistic again revealed. This was revealed during a meeting of National Human Rights Commission Komnas HAM Representative in Jakarta and Papua Military Commander XVII / Paradise, Monday (6 / 12) in Makodam XVII / Cenderawasih. During the meeting, as disclosed Vice Chairman of Komnas HAM Representative in Papua, Mathius Murib SH, that the National Human Rights Commission data show violence and torture civilians suspected of volume II is a member of the TNI against civilians in Puncak Jaya. These data indicate a number of documents in the form of video recordings, data and monitoring results in the field, including interviews with the victim regarding violence and torture of two civilians, each Anggenpugu Kiwo and Telangga Gire in Puncak Jaya regency, on March 18, 2010. Violence and torture II, was more sadistic, brutal and inhuman than the videos of violence and torture against citizens on March 17, 2010.
"Video violence and torture against the citizens of these 2 people 7 minutes duration occurred on March 18, 2010 or the day after a video of violence and torture first. Both victims were even burned his genitals and neck disangkur, "said Vice Chairman of Komnas HAM Representative in Papua Mathius Murib when confirmed Stars Papua in Jayapura, on Tuesday (7 / 12) after having a joint meeting between the Commander XVII / Paradise with Tim Komnas HAM in Jakarta and the National Human Rights Commission Representative of Papua in Makodam XVII / Cenderawasih, Jayapura, Monday (6 / 12).

Team National Human Rights Commission Komnas HAM Papua, Jakarta and the other at the same time meet Wakapolda Papua Brigadier General (Pol) Drs Arie Sulistyo in Papua Police Headquarters, Jayapura.Ironisnya, he continued, the perpetrators of violence and torture against civilians in Puncak Jaya has been heard and decided before the Court Military Jayapura. But videos of violence and torture that both the even more sadistic, brutal and inhuman has not been touched by military law. For the purposes of the investigation, he added, his party had submitted a video of violence and torture of two civilians to the military commander of XVII / Paradise Brigadier General eRFI Triassunu was surprised when Tim Komnas HAM in Jakarta and Komnas HAM Representative in Papua thrusting video evidence concerning violence and torture vol II allegedly committed by the TNI against two civilians in Puncak Jaya.

Therefore, he added, his party has submitted that case law is processed. However, the military commander promised if proven, then it will process its members are involved. He said it also conveyed to the military commander and police chief that of a series of incidents of torture that is in Puncak Jaya from 2004 until 2010 only one case was processed, ie, violence and torture against civilians in the district of Puncak Jaya. According to him, military commander was also agreed that its members act in the field not in accordance with the function and duty military and not according to fixed procedures used in the square. He therefore agrees with the legal process of TNI forces involved. It is said, 2 people victims of violence and torture is still running its activities in Puncak Jaya regency, but both suffer from deafness. (MDC / don