Selasa, 03 Agustus 2010

Referendum, Solusi Murni Aspirasi Rakyat Papua !


JUBI --- Penyandaraan diri setiap kali pada identitas pribadi merupakan dasar perjuangan, sebagai akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme di Indonesia termasuk Tanah Papua.
Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat, penindasan yang brutal dan adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas. Faktor lainnya adalah membanjirnya informasi yang masuk tentang Sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Namun Benny Giay menggambarkannya sebagai sejarah sunyi Orang Papua karena tidak semua negara mau mendengar. Terkecuali ketika berbicara tambang dan sumber daya alam. PT Freeport Indonesia adalah salah satu kekuatan investasi yang menancapkan kekuatannya di Tanah Papua sebelum pelaksanaan referendum atau dalam versi Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Kontrak Karya PT FI dilakukan pada 1967 atau dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA di atas tanah yang disengketakan antara Indonesia dan Belanda.
Walau demikian kesadaran untuk berjuang tak lepas dari tindakan Warga Papua untuk mentransformasikan realitas sehari-hari Orang Papua. Mengutip Paulo Freire pakar pendidikan asal Brasilia yang m menulis “semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.” Kesadaran untuk mencari identitas sesuai dengan Universal Declaration on Human Right. Karena itu kemerdekaan adalah hak berdasarkan Deklarasi Universal HAM yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan. Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka.
International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (a state can include several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination , yaitu external right to self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki Negara Papua Barat di luar negara Indonesia. Hak eksternal penentuan nasib sendiri atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1).
Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik. Pakar antropolog membagikannya ke dalam dua kelompok Melanesia dan Papua.
Perbedaan etnik maupun ras dapat menjadi salah satu gagasan untuk kembali mengatur langkah ke depan bagi suatu bangsa. Agaknya peluang ini dapat digunakan sebagai gagasan untuk menentukan nasib sendiri. Apalagi negara Vanuatu di Pasifik Selatan membuka pintu bagi perjuangan Papua Barat. Vanuatu juga memberikan kursi bagi Papua Barat dalam pertemuan Melanesia Brotherhood di Pasifik Selatan.
Namun yang jelas rasa kebangsaan dan nasionalisme bisa dibangun kalau ada perasaan senasib dan sama-sama menderita. Cilakanya selama di Papua Barat belum merasa sama-sama menderita dan satu kata untuk menentukan nasib sendiri. Maka perlu dibangun solidaritas agar jangan sampai salah arah dan tidak tepat sasaran.
UU Otsus yang selama ini dianggap sebagai sasaran antara untuk menjembatani perasaan senasib dan sepenanggungan sangat jauh dari harapan banyak Orang Papua. Tuntutan referendum adalah aspirasi murni dari Rakyat Papua yang selalu hidup dalam penindasan dan masih merasa sebagai bangsa yang terjajah di atas tanah sendiri.
Terlepas dari perkembangan sejarah masa lalu hingga saat ini. Tampaknya tuntutan referendum sudah pasti akan terus “dinyanyikan” Rakyat Papua kepada dunia, bahwa keinginan menentukan nasib sendiri adalah murni isi hati Rakyat Papua dan bukan keinginan segelintir orang.
Hal ini terangkat kembali pada 18 Juni 2010 dimana seluruh Rakyat Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) menyampaikan aspirasi referendum bagi masa depan Papua kepada DPRP.
Masalah mendasar dan subtansi dari tuntutan Rakyat Papua adalah ketika Otonomi Khusus (Otsus) Tahun 2001 bagi Povinsi Papua diberikan Pemerintah Pusat sebagai jawaban pengganti atas aspirasi Papua merdeka. Sayangnya sasaran antara melalui UU Otsus tak memberikan banyak harapan dan nada optimis muncul dengan keyakinan bahwa “gula-gula” Otsus akan membawa perubahan bagi Rakyat Papua. Sebaliknya “gula-gula” ini hanya enak didengar tanpa ada terwujud nyata dalam hidup sehari-hari Masyarakat Asli Papua. Tidak ada keberpihakan yang sifatnya memproteksi, memberdayakan dan menerapkan afirmatif terhadap hak-hak dasar Masyarakat Asli Papua.
Kebijakan yang bersifat affimative action seringkali berbenturan dengan pemerintah di Jakarta. “Ibarat berbenturan dengan tembok,“ tutur Agus Alua. Atau Benny Giay sedikit sinis menegaskan mengharapkan UU Otsus dan affirmative action sama saja dengan merebus batu.
UU Otsus sudah berjalan hampir 10 (sepuluh) tahun, namun tetap saja Rakyat Papua tidak merasakan manfaat dan dampak kemajuan dari kebijakan ini. Oleh karena itu mestinya Pemerintah Indonesia lebih jeli melihat persoalan tersebut dan bukannya membiarkan Rakyat Papua berkelahi dengan dirinya sendiri akibat berbagai aturan yang diberikan tidak berjalan baik sesuai amanatnya. Padahal nyata-nyata di dalam UU Otsus harus berpihak dan melindungi keberadaan Orang Asli Papua.
Menyikapi kegagalan Otsus, maka MRP bersama Masyarakat Adat Papua (MAP) serta kelompok elemen Masyarakat Papua lainnya melakukan musyawarah pada Tanggal 9–10 Juni 2010 lalu, dimana menghasilkan 11 rekomendasi yang selanjutnya diserahkan kepada kepada Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintah Daerah dan DPRP.
Dalam dua hari kegiatan Musyawarah MRP dan Masyarakat Adat Papua yang datang dari tujuh wilayah adat di seluruh Tanah Papua, telah mengambil suatu keputusan bersama tentang situasi politik di Tanah Papua dan keberadaan Otsus Papua yang dianggap gagal dan seluruh peserta Musyawarah dan komponen politik yang hadir menyerukan kepada MRP dan DPRP segera mengembalikan Otsus ke pusat. Acara Musyawarah yang sempat memanas tersebut lebih banyak berkutat pada penyelesaian masalah politik di Tanah Papua.
Agus Alua dalam keterangannya menyatakan, semua peserta Mubes sepakat untuk kembalikan Otsus dan referendum solusi untuk menjawab semua permasalahan politik di Tanah Papua. “Ini aspirasi murni rakyat dan MRP akan memfasilitasi aspirasi mereka,” tutur Alua. Aspirasi masyarakat juga meminta pelaksanaan referendum ini difasilitasi oleh dunia Internasional. Poin penting lain adalah segera menutup aktivitas penambangan PT. Freeport Indonesia di Bumi Amungsa.
Tuntutan ini sudah berada di tangan DPRP, sebabnya Rakyat Papua akan menunggu wakil-wakil Rakyat Papua untuk menindaklanjuti secara baik. Rakyat Papua akan menagih janji pada 8 Juli 2010 mendatang

Rakyat Papua Segera Bentuk Pemerintahan Transisi

JUBI --- West Papua National Autority (WPNA) meminta Dewan Adat Papua membentuk pemerintahan transisi di Papua.

Alberth Israel Yoku, president WPNA menegaskan, rakyat Papua juga jangan hanya meneriakkan Referendum dan Otonomi Khusus namun tidak menyiapkan pemerintahan transisi.

Menurutnya, pemerintahan transisi sudah harus diserahkan ke PBB untuk memberitahukan bahwa Papua sudah merdeka.

“Masyarakat diharapkan tidak terlalu repot menuntut dua hal yakni otsus dan referendum. Karena warga Papua Barat sudah merdeka sejak tahun 1961,” ujarnya, Senin. (Musa

dari tahun ke tahun pemerintah pusat cairkan dana sekian milyar tapi nak-anak ini tidak mendaptkan perhatian dsari pemerintah propinsi papua ..dan inlah kenyataan gambar.. tepatnya di langda una-ukam .....

Act of Free Choice RESTORE TO THE UNITED NATIONS (UN)


Although already stated Sentani-finals, but the presence of (PEPERA) Determination of the People's Opinion, still continue to 'sued'.
Results Act of Free Choice on 2-14 August 1969 was considered final after the nation of Papua has made floating through the State formed the Dutch West Papua on 1 Mey 1969.
Unfortunately that has been deemed a final decision was for some political leaders of Papua is considered controversial, because of heavy intervention and intimidation Indonesia and America. Pressure-related political pressure disabilities law continues to reverberate up on Monday (2 / 8) yesterday openly political parts of Papua, the Papuan Customary Council (DAP), KNPB, ICLWP, West Papua National Autority (WPNA), detainees Prisoners , and some residents of Papua who are in the Sentani ceremonial return to the New York Act of Free Choice and Decision Agrimen to the United Nations marked the burning of a coffin symbolizing the Act of Free Choice and the New York Agrimen field Theys H Eluay tomb.

The event was attended by several political frontman Papua namely DAP Chairman, Forkorus Yaboisembut, Chairman WPNA Terianus Yaku, Saul Bomay Tapol detainees, and some of frontman KNPB and ICLWP. From Watchlist Papua New Star in the field can be seen escorting Papua Guard troops (Hermit) is quite tight, and even some mass media that tried to enter the area filtered by Hermit.
Tail only some of the media are allowed to enter, while others were forced outside of the field. Chairman of the Papua Customary Council Forkorus Yaboisembut S. Pd to Papua New Star said yesterday, the activities are done as a symbolic form of the return assessed PEPERA legally flawed.
According Forkorus these activities are not only conducted in Papua, but simultaneously, including outside Indonesia ie in Vanuatu, the United Kingdom, and Australia yesterday. Forkorus continued that the warning was actually about to return PEPERA taken directly to the Big Keduatan U.S. to Indonesia, but due to the Office of the U.S. Embassy in Jakarta, so it only sends the symbol of the return through the virtual world, in this case the mass media, and sites that webside Papuans are used to channel the political developments in Papua to the international world.
"Sebenanrnya we want to return this PEPERA memalui U.S. Embassy office in Jakarta but since we send it through the virtual world," he said. Forkorus also recognizes that these activities have come to Vanuatu, England and America, after his crosscheck to do there.
While follow-up of the Act of Free Choice and New York returns to the United Nations, according to Agrimen Forkorus side would ask for a referendum or annexation of absolute sovereignty on 1 Mey 1963 through PBBB general assembly which will take place at 3 to 6 September 2010.
Questioning the meaning of such coffin burning, Forkorus say that it is the realization that Pepepra is dead, because the Act of Free Choice is part of Volume I of the Special Autonomy annexation program as well as on special autonomy in 2001 and vol II. "Papuan political issues will be exhaled at the UN General Assembly in the material or whether the lawsuit in the International Mahkama given sovereignty, in full," said Forkorus again.
Forkorus also said that political issues related disability Papua Act of Free Choice has received full support from Prime Minister (Unted Kingdom) New England that David Cameroon that must be fought to the General Session. Forkorus therefore appealed to the Government of Indonesia in order not to deceive the public, because the problem is already a problem in Papua International.
And the struggle for Papua is peaceful struggle, which must be completed in a manner that is safe and peaceful, not like such as in Timor Laste. The occasion was also given the mandate Forkorus orally by a number of Papuan political component to immediately conduct Papua Congress III.
Sementaraq's security by the Police Board is also quite strict with the involvement of Papua Bromobda BKO one platoon, 2nd platoon Dirmapta Polda Papua, and some police personnel Jayapura. Jayapura Police Chief Matthew Fakhiri AKBP SIK told reporters yesterday said that the activity has obtained a license from the Polda Papua so that it only securing a smooth traffic flow and monitor activities so that they are not sullied by the actions relating to criminal practice.
Foreign Journalists
Meanwhile, at the end of free speech activity, the slightly tarnished by the action of chase each other between the officer and some members KNPB. Action chase each other the tails of the officers who tried to secure one of the foreign citizen will look to capture the event. We will secure a group of young Army camouflage uniform numbering five people directly pursuing officers, so that foreign men are not secure, even chase it down to the hotel which is thought to be united inn foreign residents. In the hotel manunggalpun foreigners are protected period, so an officer can still pocketed their credentials in detail.
One member of the Jayapura Police Satreskrim Briptu Aris suffered lacerations on the right arm. While officers are also directly securing one of the boys had the initials ES. The man who claimed to have just completed their studies in senior high school on June yesterday was immediately escorted to the police Mako perbutannya Jayapura to account for it.
Jayapura Police Chief Matthew Fakhiri AKBP ICS said that his party actually waited for the frontman to be held accountable KNPB one of his colleagues were unfortunately all of them suddenly disappear, without mempediulikannya. Nemun according to the relevant police chief since the age of the student to follow-up process will also be considered.
Meanwhile, foreign nationals according to immortalize the moment police chief being investigated by officers who allegedly stayed in a hotel while Manunggal Sentani, related goals coming to Indonesia, including Papua. 'We still investigate, identity, and purpose of his coming,' police chief explained.
Again a counter statement in fact came from the Chairman of DAP Forkorus Yaboisembut which confirms that the real political problems of Papua's not a secret anymore and this is already on the official websites of the world famous, so whoever he is intent on capturing moments both Indonesian citizens or not is not needs to argue anymore. Especially for one member who was arrested KNPB Forkorus hope that the police can release, because there is no any criminal elements that could ensnare him.