Kamis, 28 Oktober 2010

Gillard Diminta Tekan Indonesia

SYDNEY, KOMPAS.com - Human Rights Watch (HRW), Jumat (29/10), mendesak Perdana Menteri Australia, Julia Gillard, menekan Indonesia agar melakukan penyidikan lengkap terkait penyiksaan oleh TNI terhadap warga Papua saat dia berkunjung ke Jakarta minggu depan.

"Gillard harus menuntut agar kasus-kasus baru-baru ini tentang penyiksaan oleh pasukan keamanan Indonesia diselidiki secara kredibel, tidak disapu ke bawah karpet," kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York itu.

Desakan itu muncul setelah sebuah video yang menunjukkan dua orang Papua ditendang dan disiksa muncul di internet. Gambar video itu memicu kemarahan internasional. Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian mengakui anggota terlibat dalam penyiksaan tersebut dan menyebut perilaku mereka "tidak profesional".

Agustus lalu, para petugas polisi dari Detasemen Khusus (Densus) 88 juga diduga telah menyiksa sekelompok aktivis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di Provinsi Maluku.

Canberra memberikan jutaan dollar Australia bagi pendanaan Densus 88, unit kontra-teroris yang lahir setelah peristiwa bom Bali 2002 yang menewaskan banyak warga Australia.

Gillard akan bertemu Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pekan depan dalam perjalanan regional pertamanya sejak menjadi perdana menteri.

Australia menyediakan bantuan kepada Indonesia, tetangga terdekat, untuk berbagai kebijakan kontra-terorisme melalui pelatihan pasukan militer Indonesia. Baru-baru ini, pasukan khusus Australia mengadakan latihan anti-teror dengan rekan-rekan Indonesia mereka di Bali.

Rakyat Papua Barat Tolak Tim Investigasi


AYAPURA—Rakyat Papua Barat yang terdiri dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beserta seluruh elemen masyarakat lainnya menolak dengan tegas opsi yang disampaikan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda untuk membentuk tim investigasi guna mengumpulkan fakta atau bukti terkait kekerasan dan penyiksaan yang dialami rakyat sipil di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
“Kami tegas menolak tim investigasi sepihak yang dibentuk oleh TNI/Polri, DPRP, pemerintah pusat maupun Komnas HAM. Tapi kami minta TNI/Polri maupun pemerintah membuka akses internasional bagi tim investigasi independen dari pihak pihak internasional untuk datang ke Puncak Jaya dan Jakarta jangan menutup akses ke Papua,” ujar Ketua Umum KNPB Buchtar Tabuni yang disampaikan melalui Juru Bicara KNPB Mako Tabuni di hadapan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda dan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai beserta anggota DPRP antara lain Yulius Miagoni SH, Nasson Uti, Achmad Saleh, Ignasius Mimin, John Banua Rouw, Ny Yani, Kenius Kogoya ketika berlangsung demo, Kamis (28/10) kemarin.
Selanjutnya dia mengatakan, Pertama, Kami segenap rakyat Papua Barat mengutuk keras pelaku penyiksaan rakyat sipil di Puncak Jaya. Kedua, Pangdam dan Panglima TNI bertanggung jawab atas penyiksaan warga sipil di Puncak Jaya. Ketiga, Kami menolak dengan tegas investigasi sepihak oleh TNI/Polri. Keempat, harus buka akses internasional bagi Tim Investigasi Independen. Keenam, tarik militer dan Puncak Jaya. Keenam, Hentikan pendekatan militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai.
Sebagaimana disaksikan Bintang Papua, ribuan massa dari KNPB dan elemen masyarakat lainnya Kamis (28/10) pukul 09.00 WIT berkumpul masing masing di Sentani, Mata Jalan Pos 7, Waena—Expo, Depan Kantor Pos Abe, Yapis, Depan Kampus STIE Yapis menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat bergerak dan bergabung bersama massa lainnya yang telah berkumpul di Taman Imbi.
Selanjutnya massa menuju Halaman Gedung DPRP, Jayapura dikawal aparat keamanan dari Polresta Jayapura serta Brimob Polda Papua.

Saat tiba di Halaman Gedung DPRP, Jayapura massa membentangkan sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan Kasus Puncak Jaya Murni Didalangi TNI/Polri, Stop Kekerasan di Papua Barat Segera Ambil Solusi Lewat Referendum, Rakyat Papua Secara Tegas Mendesak Pemerintah Indonesia Membuka Diri, Akses Tim Investigasi Internasional ke Papua, Tarik Pasukan Militer Non Organik di Puncak Jaya dan Papua Barat Secara Menyeluruh. PBB (UNTEA), Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia Bertanggungjawab Atas Genocide d Tanah Papua.
Aksi unjukrasa tersebut sempat ricuh gara- gara seorang pengunjukrasa serta merta memaksa Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai yang tengah memegang mike menyampaikan orasi politik. Melihat gelagat yang tak terpuji tersebut aparat keamanan menyerukan masuk ke tengah massa. Akhirnya massa pun berterik agar aparat segera meninggalkan kerumunan tersebut.
Buchtar Tabuni menyampaikan, sejak dulu sampai sekarang, pihak yang terus menyiksa, meneror, mencuri dan membunuh orang Papua adalah TNI/Polri. Bahkan Sejak wilayah Papua Barat dikuasai sepihak atas kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat, nilai kemanusiaan orang Papua dianggap dan diperlakukan seperti binatang.
Alhasil,lanjutnya, video penyiksaan di Puncak Jaya adalah contoh nyata prilaku TNI/Polri yang bertugas di Papua Barat. Masih banyak kasus kasus serupa yang menyedihkan di seluruh pelosok Papua Barat yang tak pernah terekam. Dan akhirnya kami orang Papua harus menyadari bahwa Republik Indonesia dan antek kapitalisnya Amerika Serikat sedang memusnakan kami orang Papua demi napsu kekuasaan dan kekayaan alam di Papua. “Kasus penyiksaan di Puncak Jaya baik yang terekam maupun yang belum terekam adalah murni perbuatan militer Indonesia,” kata Buchtar Tabuni yang kini tengah menjalani proses hukum di LP Abepura lantaran dituduh melakukan makar.
Dikatakan, dari dulu rakyat Papua Barat berjuang untuk sebuah kebenaran sejarah bahwa Pepera 1969 penuh dengan manipulasi. Itulah akar masalahnya. Kenapa Republik Indonesia terus menutupi akar masalah ini untuk menyiksa dan membunuh orang Papua Barat dengan stigma separatis dan teroris? Dengan tegas kami katakan bahwa menyiksa, menangkap dan membunuh tak akan pernah menyelesaikan persoalan di Papua, dan justru akan mencederai wajah Indonesia di Internasional. Cara cara yang berdamai dan paling demokrasi adalah referendum bukan menyiksa dan membunuh orang Papua.
Sejak operasi militer di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, tambahnya, ratusan orang terus disiksa dan dibunuh oleh TNI/Polri, rumah, kebun dan ternak mereka dibakar. Ribuan yang lain mengungsi di hutan dan mati kelaparan.PihakTNI/Polri terus menyangkal perbuatan mereka, padahal dalam rekaman video penyiksaan terlihat jelas TNI/Polri menyiksa dan memperlakukan rakyat sipil di Puncak Jaya seperti binatang. 15 Septeber 2010, Brimob kembali menembak mati 3 warga di Manokwari, tapi pelakunya nhanya dihukum 14 hari. 4 Oktober 2010, polisi tembak mati ismail Lokobal (Koordinator Petapa). Pelaku TNI/Polri tak pernah dihukum.
“Kami orang Papua terus diberlakukan seperti binatang diatas tanah air kami sendiri , dan cepat atau lambat kami akan punah. Oleh karena itu rakyat Papua harus melawan penindasan dengan menuntut Indonesia hentikan aksi militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai,” tukasnya. (mdc/don)

Penyiksaan Bikin Rakyat pAPUA Kecewa


Penyiksaan Bikin Rakyat Kecewa
Yunus Wonda: Jangan Ulangi Kasus G 30 S PKI di Papua

JAYAPURA—Aksi kekerasan yang dilakukan TNI/Polri khususnya di wilayah Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya seyogyanyalah tak menguntungkan semua pihak, namun sebaliknya hanya mengorbankan nyawa manusia. Untuk itu, Pangdam XVII/Cenderawasih didesak segera menarik semua personil TNI dan segera pula mengosongkan wilayah ini dari operasi militer.
“Saya ingin sampaikan kepada kita semua baik TNI/Polri maupun pemerintah bahwa kekerasan dan penyiksaan itu harus dihentikan, karena tak menguntungkan pribadi masyarakat yang ada disana. Tak menguntungkan kabupaten juga tak menguntungkan negara. Ketika kita menyampaikan hal ini kepada seluruh rakyat Papua khususnya yang ada di daerah Pegunungan Papua kita mendorong untuk benar benar mencintai dan merasa memiliki bangsa ini,” ujar Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda kepada Bintang Papua diruang Fraksi Demokrat DPRP, Rabu (27/10) kemarin.
Dikatakan, pihaknya sebagai anak daerah dari wilayah Pegunungan yang dipercayakan rakyat untuk duduk di DPRP ingin menyampaikan agar TNI/Polri segera menghentikan cara- cara kekerasan dan penyiksaan terhadap warga, tapi mulai melakukan perubahan dengan pendekatan- pendekatan kemanusiaan dan tindakan tindakan yang membangun. Kehadiran TNI/Polri disana rakyat juga merasa dilindungi dan rakyat juga bisa melindungi TNI/Polri.
“Kekerasan di Puncak Jaya tak membuat besok pagi Papua merdeka, tapi dibutuhkan pendekatan kemanusiaan dimana TNI/Polri dapat terlibat langsung membangun infrastruktur disana supaya rakyat merasa bahwa dia bagian dari negara ini dan merasa mencintai negara ini,” tukas
Untuk itu, katanya, pihaknya minta kepada Kapolda dan Pangdam untuk segera memanggil semua personil yang terlibat kekerasan dan penyiksaan terhadap warga khususnya di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya untuk mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang dilakukannya sesuai proses hukum yang berlaku dan rakyatpun dapat melihat proses tersebut benar benar sedang terjadi. Jangan hanya dimunculkan di media massa bahwa TNI/Polri akan melakukan proses hukum padahal setelah itu tak ada tanda tanda prosesnya berakhir dimana. “Kekerasan dan penyiksaan yang nyata nyata dilakukan TNI terhadap warga Papua adalah suatu tindakan yang tidak berprikemanusiaan dan telah menyalahi aturan dan suatu pelanggaran HAM berat. Jangan mengulangi lagi kasus G 30 S PKI di Papua,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Disatu sisi, tambahnya, tindakan- tindakan yang dilakukan TNI/Polri sebenarnya membuat rakyat kecewa. Pasalnya, peristiwa peristiwa kekerasan terus terjadi sejak tahun 1960-an hingga peristiwa tahun 1977. Hal ini menyimpan traumatis bagi masyarakat pegunungan hingga kini.
Karena itu, lanjutnya, pihaknya mengharapkan kepada pihak keamanan dalam hal ini TNI/Polri bahwa setiap anggota atau personil yang dikirim ke daerah daerah pedalaman Pegunungan atau di daerah Papua lainnya perlu diberikan suatu kursus agar mereka mampu melakukan pendekatan pendekatan yang harus mereka bangun kepada masyarakat setempat.
“Hal ini dimaksud agar rakyat tak merasa trauma. Tak merasa takut dengan kondisi kondisi yang ada tapi bagaimana TNI/Polri diberi pemahaman dan pembelajaran bagaimana mereka mengerti tentang pelanggaran HAM serta pendekatan pendekatan kemanusiaan agar rakyat tak merasa takut,” katanya.
Kehadiran TNI/Polri, sambungnya, bukan menjadi ancaman bagi masyarakat lokal tapi masyarakat merasa dilindungi karena fungsi TNI/Polroi adalah mengayomi dan memberikan perlindungan bagi masyarakat diseluruh Papua dan bukan sebaliknya melakukan tindakan tindakan yang melanggar prikemanusiaan.
Pertiwa penyiksaan terhadap warga Papua belum terungkap. Kini muncul lagi peristiwa yang menghebohkan. Sesuai data dari Komnas HAM Perwakilan Papua, peristiwa pembakaran dan penghancuran rumah warga 11 Oktober 2010 pukul 11.00—12.00 WIT lalu 18 orang aparat Polisi/Brimob Kelapa Dua dari Jakarta yang baru ditugaskan di Mulia, Puncak Jaya kembali membakar hingga rata dengan tanah 29 rumah dan 1 pastor gereja beserta seluruh isi rumah/honay yang ada di Kampung Brigi, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya.
“TNI/Polri harus mengubah program program keamanan di daerah daerah seperti ABRI Masuk Desa (AMD) sehingga masyarakat yang ada di daerah daerah Pegunungan ini merasa terlindungi dari pihak keamanan. Kalau keamanan itu melakukan hal seperti itu rakyat mau mengadu kepada siapa lagi,” tuturnya. (mdc)