Jumat, 09 April 2010

Dari UI, Papua Ingin Merdeka



Sebuah symposium nasional Papua yang diselenggarakan di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat selama tiga hari 7-9 April 2010 atas kerjasama UI dan Univervesitas Cendrawasih (Uncend), awalnya bertujuan untuk mengungkap semua potensi Papua, baik dalam bidang kebudayaan, kepariwisataan hingga prospek lainnya, namun di hari kedua kemarin, sebagai peserta, saya merasakan ada ‘getar-getar lain’ Papua. Ada penyesalan terkuak disana, mungkin juga peserta lainnya. Sepertinya, beberapa peserta ‘non Papua’ didaulat untuk mendengarkan dentuman kemerdekaan Papua. Firasat saya, pihak Antropologi UI sebagai tuan rumah juga menyesal, kalau sebenarnya terjadi pelencengan makna symposium di hari itu.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Simposium hari pertama. Tiga pemateri dari putra terbaik Papua, masing-masing Menhub Freddy Numbery, Gubernur Papua Bernabas Suaebu dan Gubernur Papua Barat, Abraham O. Aturruri, begitu konsentrasi mengungkap prospek Papua membangun dalam bingkai NKRI. Saya bangga, bahwa Papua benar-benar orang Indonesia dan berpikir maju untuk setara dengan daerah lainnya di Indonesia. Nasionalisme saya bergolak, ingin membantu saudara kita di Papua, meski mungkin hanya lewat kajian-kajian ilmiah sebagai peserta symposium. Apalagi, sebelum masuk di ruang symposium, pamplet dan banner promosi betebaran dimana-mana, mempromosikan potensi wisata di sana. Saya bangga. Indonesia benar-benar kaya. UI juga merasa bangga, mampu menjadikan kampus terbaik di Indonesia ini sebagai ruang merekatkan nasionalisme.

Sekali lagi di hari kedua penyesalan itu muncul. Dua pemateri asal Papua, masing-masing Dr. Muh. Mus’ad, M.Si (FISIP Uncend) dan Septer (NGO) Papua begitu bersemangat mengurai ‘apa yang sebenarnya’ terjadi di Papua. Mus’ad, akademisi asal Fak-fak itu menegaskan, kalau sebenarnya Papua tidak meminta Otonomi Khusus, tetapi meminta Merdeka. “Sebenarnya Papua tidak minta O tapi minta M” begitu Mus’ad menginisialisasi.

Kondisi ini katanya terjadi karena Jakarta (pemerintah pusat) setengah hati dalam mengurus Papua. Otsus tidak diperankan sebagaimana peran Jakarta kepada Aceh. Mus’ad sebagai salah satu akademik besar di Papua, banyak mengurai dan membanding antara perhatian pusat kepada Papua dan Aceh. Intinya, terjadi ketidak-adilan yang mendorong Papua berpikir lain kepada NKRI. Bahkan, disebutkan jika sebenarnya Otsus itu bukan hadiah dari Jakarta, tetapi sebuah perjuangan orang Papua. Meski yang diminta itu adalah sebuah kemerdekaan. Mus’ad juga menyesalkan, ketidak-hadiran para Gubernur di Papua di hari kedua itu, untuk duduk bersama membahas masa depan Papua.

Lain lagi dengan Septer Manufandu, aktifis NGO Papua ini lebih lantang lagi, jika Papua benar-benar tersiksa. Dari paparan mapping yang diutarakan, jelas sekali kalau Papau ‘disiksa’ dengan perencanaan pembangunan yang akan diselenggarakan pemerintah Indonesia. Jalan raksasa yang akan dibangun dengan nama Trans Papua, serta sejumlah pembukaan lahan masyarakat dinilai bakal merusak kehidupan Orang Papua, merusak hutan yang merupakan asset besar negeri itu. Bahkan seorang penanya yang ‘keliru’ menyebut Papua dengan sebutan ‘Irian’ ramai-ramai dibantah dan menyebutkan nama ‘Papua’.

Septer-pun mennyanyikan cuplikan lagu moyangnya yang berkisah tentang ‘diperbudaknya Papua di negeri sendiri’. Dia dengan lantang mengungkap perjalanan hidupnya, jika dirinya pernah belajar di Afrika Selatan. Katanya dia pernah diajari tentang konsep Merdeka orang Afrika Selatan, dimana sebuah kemerdekaan, bukan hanya merdeka secara politik, tetapi merdeka seutuhnya. Dan, itulah yang dilakukannya kini. “Persolan Papua, bukan hanya persoalan Makan dan Minum, tetapi lebih dari itu” kata Septer.

Sama seperti Mus’ad, Septer juga mengkrtik tajam bahasan yang diurai para Gubernur Papua sehari sebelumnya, yang tidak mencerminkan kehidupan sebenarnya di Papua. Ada aroma ‘kekesalan’ pada pemerintahan Papua yang seolah membeo dengan Jakarta dan tidak mengisahkan kehidupan Papua yang sebanarnya. “Harusnya kita semua duduk semeja, untuk membahas masalah ini”ujarnya.

Saat sesi tanya jawab, sejumlah aktivis dan akademika Papua, mempertanyakan tentang keseriusan pemerintah Indonesia. Seorang diantarnya, adalah Ibu Vincen, akademisi FISIP Uncen, dengan lantang menyebutkan, jikalau Papua harus menjadi anak Emas Indonesia, sebab jika tidak Papua banyak Negara yang menginginkannya. Sebuah penggambaran pemberontakan hati para akademik di sana. Kondisi ini sama dengan informasi beberapa peserta symposium asal Papua yang menyebut bila saat ini Papua, hanyalah ATM dari Republik Indonesia.

Untung saja, bahasan tentang kemerdekaan Papua ini ‘dipatahkan’ pakar Administrasi UI, Dr Roy. Roy menyebutkan apa yang sebenarnya terjadi di Papua sama dengan beberapa wilayah Indonesia lainnya. Bahkan mungkin keadaannya lebih parah. Tugas kita bersama kata Roy, adalam membangun ’knowledge sourche’ Papua. Katanya, keterbelakangan terjadi karena ketidakcerdasan kita sendiri, sehingga yang harus dibangun sekarang dalam bingkai NKRI adalah sumber daya manusianya. (**)

Depok, 9 April 2010.

Tidak ada komentar: